Untuk Apa Saya Hidup?

"Untuk apa manusia hidup di dunia ini? Untuk apa saya hidup?" Pertanyaan-pertanyaan ini pada suatu hari memenuhi pikiran saya, saat saya duduk-duduk di dangau [gubuk (rumah kecil) di sawah atau di ladang, tempat orang berteduh untuk menjaga tanaman, Red] di sawah nenek.

Waktu itu saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) di Pulau Nias, dan masa liburan sekolah biasanya saya lewatkan dengan menemani nenek di sawah. Saya sangat menyukai saat-saat duduk sendirian di dangau yang dikelilingi tanaman padi itu. Jauh di tepi sawah, nampak pohon-pohon sagu dan kayu-kayu hutan.

Dari dangau saya bebas menikmati arak-arakan awan putih yang muncul di langit seperti ukiran batu putih cemerlang. Bentuknya berubah-ubah. Ada kalanya berbentuk manusia, binatang, pohon, sungai atau bentuk lain, tergantung daya khayal saya menciptakannya. Yang paling sering saya bayangkan adalah bentuk Tuhan Yesus yang disalib, seperti diceritakan guru sekolah minggu. Katanya, Tuhan Yesus disalibkan karena kita, manusia telah berbuat berdosa. Dosa kita akan diampuni dan kita bisa masuk surga kalau kita memintanya kepada Tuhan Yesus.

Di kala ukiran-ukiran di awan itu hilang disapu gelombang awan lainnya, perhatian saya beralih kepada nenek dan para pekerja yang menggarap sawah. Mereka bekerja keras, berlelah-lelah hampir tak pernah beristirahat. Melihat mereka, timbul pertanyaan dalam benak saya, "Mengapa mereka harus bekerja keras?"

Jawabannya langsung saya temukan. "Mereka bekerja keras supaya bisa makan."

"Mengapa manusia harus makan?"

"Supaya bisa hidup."

"Untuk apa manusia hidup?"

Saya merenungkan kehidupan pekerja-pekerja itu. "Bekerja, makan, hidup. Sesudah itu apa? Makan lagi... bekerja lagi... makan lagi... Hanya itukah arti hidup ini?"

"Untuk apa manusia hidup di dunia ini? Untuk apa saya hidup?" Pertanyaan ini terus saja mengikuti saya betapa pun saya berusaha melupakannya.

Ayah dan Ibu telah mendidik saya dan keempat saudara laki-laki serta ketiga saudara perempuan saya menjadi anak-anak bermoral baik. Tahu bahwa saya tidak senakal anak-anak lainnya, saya yakin saya bisa masuk surga.

Tapi keyakinan saya itu dihancurkan oleh kebenaran yang sesungguhnya, sewaktu guru sekolah minggu bercerita tentang orang Farisi dan pemungut cukai dari Lukas 18:9-14. Keduanya pergi ke rumah ibadah untuk berdoa. Si orang Farisi berpikir ia tidak membutuhkan pengampunan Tuhan karena ia bermoral baik, taat berpuasa, dan suka memberi sedekah. Tapi, si pemungut cukai mengaku bahwa ia orang berdosa dan memohon ampun kepada Tuhan.

Ternyata doa si pemungut cukailah yang diterima Tuhan. Dosa-dosanya diampuni! Sebaliknya, si orang Farisi karena tidak mengaku berdosa, ia tidak mendapat pengampunan Tuhan.

Kisah kedua orang itu menyentak kesadaran saya. Betapa pemahaman saya selama ini salah. Maka, di sekolah minggu itu, dengan sepenuh hati saya berdoa seperti si pemungut cukai, "Tuhan Yesus, kasihanilah saya, ampuni dosa-dosa saya." Sejak saat itu saya merasa pasti bahwa saya akan masuk surga. Dosa-dosa saya telah diampuni-Nya.

Tapi pertanyaan, "Untuk apa saya hidup?" belum terjawab. Saya sering resah karena pertanyaan ini. Keresahan saya bertambah ketika beberapa tahun kemudian saya membaca Amsal 3:9, "Muliakanlah TUHAN dengan hartamu dan dengan hasil pertama dari segala penghasilanmu."

Saya harus memuliakan Tuhan dengan harta!

"Saya tidak punya harta apa-apa, Tuhan. Saya tidak punya penghasilan apa-apa. Saya baru kelas 5 SD!" Seru saya berkali-kali kepada Tuhan. Ayat itu selalu saja mengganggu dan saya tidak tahu harus berbuat apa.

Suatu hari saya melihat sepucuk surat di rumah kami. Dari luar negeri! Entah bagaimana surat itu bisa tiba di rumah kami. Di lembarannya terpampang foto seorang perempuan. Katanya ia seorang utusan Injil, yang bekerja memberitakan Kabar Baik Yesus. Ia juga bercerita tentang orang-orang di berbagai tempat yang belum pernah mendengar tentang Tuhan Yesus. Jumlah mereka banyak sekali.

"Mereka pasti akan masuk neraka!" pikir saya. "Mengapa Tuhan tidak pergi kepada mereka, supaya mereka juga bisa masuk surga seperti saya?"

Saya sedih memikirkan orang-orang itu. Di Pulau Nias -- tempat saya dilahirkan -- hampir semua orang sudah mendengar tentang Tuhan Yesus. Tapi rupanya di tempat-tempat lain banyak sekali yang belum pernah mendengar. Sebuah kerinduan tumbuh dalam jiwa saya. "Saya mau pergi membawa berita keselamatan kepada mereka! Saya mau jadi utusan Injil!"

Saya merasa menjadi utusan Injil adalah tugas saya sebagai orang yang sudah ditebus Tuhan Yesus. Kebenaran ini saya pahami saat di kelas 2 SMP. Waktu itu, kami sedang merayakan Natal. Pengkhotbah mengatakan bahwa dunia bergerak maju begitu pesat, semakin canggih. Tapi sangat menyedihkan bahwa manusia hidup seperti berlomba masuk neraka saja. Tuhan membutuhkan orang-orang percaya untuk memberitakan kepada mereka keselamatan di dalam Tuhan Yesus.

Dalam kebaktian Natal itu saya berjanji, "Tuhan, saya bersedia pergi kepada mereka. Saya akan memegang keputusan ini dan tidak akan melepaskannya."

Nenek telah meninggal 2 tahun sebelum Natal itu. Sawahnya tidak lagi digarap. Tapi pertanyaan meresahkan, "Untuk apa saya hidup?" Yang muncul ketika saya duduk-duduk di dangaunya, telah terjawab.

"Saya hidup untuk menjadi utusan Injil, untuk memuliakan Allah. Hidup saya adalah harta yang tak dapat saya tukar dengan apa pun. Pergi bekerja di ladang Tuhan, untuk itulah saya hidup!"

(Kutip dari buku : Sampah Menjadi Persembahan)
←   →

VISIT NOW

111

Visitor

Flag Counter
 

Copyright © 2009 by Cerita Langit