Gabriel Marcell, filsuf berkebangsaan Perancis (1889-1997), yang meng-gambarkan berbagai tingkatan relasi antarmanusia. Pertama, kita menganggap orang itu sebagai “seseorang”. Entah siapa dia, kita tidak tahu. Dia asing bagi kita. Demikian juga sebaliknya, kita asing bagi dia, sehingga ada semacam perasaan untuk saling menjaga jarak. Kita melihatnya tetapi tidak berkomunikasi. Bertemu selintas, tidak meninggalkan kesan apa pun bagi masing-masing.
Yang kedua, Marcell mencoba menggambarkan apa yang disebut sebagai “mereka”. Mereka adalah orang-orang yang saya butuhkan karena sesuatu. Mereka merupakan pusat infor-masi bagi saya, menjadi obyek untuk bertanya, untuk menda-patkan hal-hal yang saya butuhkan. Mereka menjadi obyek dan saya menjadi subjek. Saya berkomunikasi dengan mereka tetapi tidak memberikan kesan. Saya kontak dengan mereka dalam bahasa tetapi tetap merasa asing karena tidak punya kesan yang panjang, tidak punya relasi yang jelas. Ada kontak dalam bahasa, tetapi tidak dalam rasa. Mereka lebih dari sekadar apa yang kita sebut “seseorang” tadi. Namun kelebihan itu hanya dalam bidang komunikasi bahasa, bukan dalam kesan dan rasa. Mereka hanya objek, dan saya subjek.
Yang ketiga: engkau. Ini lebih tinggi, ada keterbukaan antara aku dan dia. Artinya, saya siap untuk dikenal oleh dia, dan saya siap mengenal dia dengan segala risiko apa pun. Keterbukaan itu mem-buat kami bisa saling memahami. Dalam tingkatan ini ada komunikasi dua arah. Dia menjadikan hubungan saya dan dia menjadi hubungan yang disebut “kita”. Engkau dan aku sama-sama menikmati, sama-sama merasakan, sama-sama masuk di dalam pembicaraan di mana kita berdua terlibat dan di sanalah tercipta relasi sebagai sesama subjek. Jadi, saya subjek engkau subjek. Oleh karena itu, engkau akan menjadi pribadi yang dapat menjadi bagian hidupku.
Dalam hidup kita menemukan relasi-relasi seperti ini. Kita berpapasan setiap hari dengan orang, tapi tidak mengenal dan tidak tahu aktivitasnya. Duduk sama-sama, tetapi asing, bahkan mungkin saling mencurigai. Itu relasi tahap pertama yang paling dasar dari relasi hidup manusia. Hanya basa-basi, tidak perduli apa yang dialami dan dirasakan dia. Betapa tragisnya suasana seperti ini. Patut kita renungkan, seperti apa kita berelasi. Jangan-jangan itu yang terjadi dalam kehidupan kita berjemaat. Orang di sekitar kita adalah orang yang tidak kita pedulikan. Hanya karena pola yang diciptakan dalam gereja maka orang bersalaman, say hello, sehingga pecahlah memang kekakuan.
Gereja jadi kaku karena orang-orang yang berbakti asing satu sama lain. Waktu gereja memecah suasana kaku dan menciptakan suasana untuk ada satu relasi, maka ada jabat tangan. Orang-orang itu saya butuhkan untuk mengung-kapkan rasa kasih saya: selamat siang, selamat pagi. Saya puas waktu bisa mengucapkan selamat siang, karena saya bisa mengekspre-sikan kasih saya. Bodoh amat dia bisa menikmati itu apa tidak. Saya puas karena saya orang kaya, punya jabatan, mau mengucapkan selamat pagi kepada orang miskin untuk mengekspresikan kasih saya. Bodoh amat orang itu merasakan-nya apa tidak. Di sana terjadi komunikasi dalam bahasa tetapi tidak dalam rasa. Batin tidak ada kontak.
Mudah mengatakan
Oleh karena itu pertanyaan, si ahli Taurat tentang siapakah sesamaku (Lukas 10: 25-37), sangat penting kita pikirkan, jangan-jangan kita tidak mengerti siapa sesama kita. Kita berpikir dia sudah menjadi sesama kita, padahal belum. Siapakah sesamaku? Sesamaku adalah orang yang bisa terbuka dengan aku, mau mengenalku dan aku mau mengenalnya. Sesamaku adalah orang yang bisa berkomunikasi dengan aku di dalam dua arah, sehingga kami menjadi kita, menjadi satu. Sesamaku adalah mereka yang kuperlakukan sebagai subjek dan memperlakukan aku sebagai subjek sehingga tidak ada yang memperalat dan diperalat.
Tidak mudah untuk bisa menempatkan orang di sekitar kita menjadi sesama. Perlu suatu kematangan, kejujuran, supaya kita bisa menghargai orang di sekitar kita. Ketika Tuhan mengatakan: “Cintailah sesamamu seperti dirimu sendiri”, maknanya amat dalam, mengagumkan, terlebih jika kita lihat dari apa yang kita pahami tentang relasi tadi. Gereja bisa dengan mudah mengatakannya. Pendeta mudah mengkhotbahkannya, tetapi sulit melakukannya. Kita sering memperlakukan orang lain sebagai orang yang kita tidak kenal. Kita sering menjadikan mereka sebagi objek untuk mencari informasi memuaskan perasan kita. Tetapi mampukah kita menghargai orang-orang di sekitar kita, yang kita berikan derajat yang sama dengan diri kita: subjek dan subjek, sehingga kita bisa menghargai dia sebagai orang yang sama dengan kita?
Siapakah sesama kita? Ijinkan saya memberikan tiga hal: Pertama, sesamaku adalah dia yang sama-sama denganku sebagai subjek. Posisi saya dan dia sama. Meski dia kaya dan saya miskin tidak jadi masalah. Pendeta dan jemaat, sama. Tidak berarti karena perbedaan jabatan atau posisi membuat relasi menjadi atas-bawah. Kedua, sesamaku adalah dia yang kuyakini sesuai dengan gambar dan rupa Allah (imagodei). Allah menciptakan saya menurut gambar dan rupa-Nya, maka orang di sekitarku pasti juga diciptakan Allah menurut gambar dan rupa-Nya. Kalau memang kita menganggap seluruh manusia adalah gambar dan rupa Allah, maka kita harus memperlakukan mereka sebagai sesama subjek. Yang ketiga, sesamaku itu adalah dia yang kukasihi, seperti aku mengasihi diriku sendiri. Karena saya sudah memperlakukan diri saya sebagai subjek dan dia subjek, maka saya akan coba merasakan di dalam hidup saya kalau saya melakukan sesuatu bagi dia. Berapa banyak orang merugikan orang lain, menindas orang lain untuk posisi-nya. Berapa orang berkompetisi dengan cara yang tidak etis. Kita menjadi egois, tidak lagi sempat memikirkan orang lain apalagi menyamakan dirinya seperti diri kita sendiri.
Dunia ini akan tenteram aman nyaman lepas dari segala pergolakan dan pertikaian yang menghancurkan persatuan manusia kalau manusia bisa menghargai manusia yang lain sebagai sesamanya, dan kekristenan telah memberikan sumbangsih. Kiranya setiap orang Kristen yang punya anugerah, berkat, warisan firman Allah yang menyatakan: “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”, bisa mewujudnyatakannya di dunia ini, khususnya kita di Indonesia ini. Di tengah kerusuhan dan kekacauan kita bisa menunjukkan hal itu.
(Reformata)