Gadis Martir Cilik China dari Ekaristi Suci

Saya tidak mengenal namanya – seorang gadis sederhana berusia 13 tahun, baik hati, kata seorang Suster. Hanya itu yang kuketahui tentang dia, pada waktu para Komunis datang ke kota kami. Saya berlutut di bangku penerima komuni di dalam gereja, lalu diam disitu, berdoa, dan menunggu apa yang akan terjadi. Setiap kali ada bunyi-bunyian di dalam gereja atau teriakan-teriakan perintah di luar sana, di jalan, saya tahu, saya bisa saja kemudian dibunuh.

Tetapi itu tidak terjadi. Besoknya ada tamu untukku. Barangkali polisi, pikirku, dan saya mulai gemetar ketakutan. Ternyata orang ini amat sopan dan bicara dengan bahasa yang baik, katanya kurang lebih sebagai berikut: ”Lanjutkanlah pekerjaanmu seperti biasanya.” Saya menawarkan rokok padanya, dia membungkuk dan pergi sambil tersenyum.

Tidak ada yang aneh pada hari-hari berikutnya. Para tentara diam dan memandangku dengan penuh rasa ingin tahu saat aku melalui jalan-jalan kota. Hanya satu yang menggangguku, yaitu kunjungan seorang inspektur tertentu. Bulan demi bulan berlalu dan saya mulai terbiasa dengan rezim Komunis. Tetapi tiba-tiba situasi memanas. Suatu musim panas yang cerah, inspektur ini datang ke sekolah, ditemani 4 orang tentara. Mereka masuk tanpa mengetuk pintu.

”Sudah waktunya perubahan untuk China,” katanya, ”semua hal-hal yang berhubungan dengan kesalehan beragama seperti ini harus dibakar. Ayo, anak-anak tercinta, kita mulai sekarang juga!”

Sambil mengatakan hal ini, inspektur dan para tentara memecahkan salib, merobek gambar-gambar suci, papan tulis, dan patung-patung dari dinding. Mereka meletakkannya pada meja-meja. Mereka memerintahkan anak-anak itu untuk membawanya ke toilet. Anak-anak menjadi ketakutan. Mereka ragu-ragu. ”Ayo cepat!” kata inspektur, ”atau akan saya gunakan revolver.” Setelahnya, seperti sebelumnya, ada yang bertahan.

Di meja terakhir ada seorang gadis cilik, dengan bibir terkatup rapat, tangan terlipat, mematung tidak bergerak. ”Hei, kamu ya!” teriak inspektur, dan bergegas menuju anak itu. Setelah mengeluarkan kata-kata hujat dia berkata. ”Ambil ini,” katanya dengan marah. Anak itu menundukkan matanya, tetapi tidak bergerak. Anak-anak lain sangat ketakutan. Hening mencekam.

Tembakan dan pecahan kaca mengakibatkan anak-anak berteriak dan menangis. Karena suara itulah orang berlarian dan segera sesudahnya ada kerumunan besar orang di depan sekolah.

Inspektur tadi tetap saja berteriak-teriak, anak itu tidak bergerak. Hanya butiran airmata besar turun di pipinya. Situasi inspektur menjadi lebih sulit. Dia berupaya menguasai diri, memandang orang-orang dan berteriak: ”Cari siapa bapaknya dan kumpulkan semua orang di dalam gereja... ” Ketika gereja sudah penuh, bapak si gadis cilik itu juga dibawa masuk, tangannya diikat ke belakang. Dia ditaruh di dekat bangku komuni, anaknya juga dipaksa masuk ke bangku komuni.

Setelahnya, ”Ehm,” inspektur berkata, ”kamu diajari bahwa Tuhanmu berkuasa dan Dia tinggal di dalam tabernakel. Sekarang, saya akan menunjukkan padamu kamu sudah dibohongi. Dia tidak bisa apa-apa! Kami akan menjejak-jejak Dia dengan sepatu boot kami, dan Dia bahkan tidak akan bergeming!”

Lalu tentara datang, dan dengan senjata revolver mera membuka tabernakel secara paksa. Ada keheningan yang menakutkan. Inspektur mengambil sibori, membukanya, dan menebarkan Hosti di lantai dekat altar.

”Pijak Tuhan mereka!” katanya pada para tentara. Dan mereka melakukannya.

”Sekarang, kamu mau bilang apa?” teriaknya. Setiap orang menahan napas.

”Kamu masih percaya dongeng pasturmu?” ”Lihat ini,” katanya pada ayah anak itu.”Jawab!”

”YA!” kata si bapak dengan lembut.

” Bawa dia keluar!” teriak inspektur itu.

Saat itu juga petugas tidak resmi mendekati inspektur dan berbicara padanya. Dia mendengarkan dan menurut pada atasannya. ”Semua orang tinggalkan gereja ini! Hanya anak itu tinggal di Bangku Komuni”.

Saya ditahan dan dikunci di lemari batu bara di dalam gereja. Ada lubang kecil ke arah altar, dimana saya bisa melihat Hosti berceceran dan anak perempuan kecil yang bersandar ke dinding. Segera sesudah itu ada seorang wanita muda cantik masuk dan tersenyum. Dia mengenakan pakaian yang bagus. “Aduh kasihan nak...,” katanya, memeluk anak itu. “Kasihan si cilik ini, apa yang telah dilakukan orang-orang itu padamu? Ikut saya. Kamu mau kan?”

Anak itu mulai menangis terisak-isak dan menjatuhkan diri ke pelukan wanita itu dan mereka pergi. Saya tidak tahu apa yang terjadi setelahnya. Dalam penjara gelapku ini saya lupa hari dan waktu. Saya berdoa, saya tidur, saya lapar dan haus dan sakit kepala. Sekelilingku diam, mati. Tapi saya mendengar suara-suara yang tidak biasanya terdengar.

Apakah sekarang sudah pagi? Saya mendengar pintu terbuka dengan lembut. Saya mengitip. Apa yang kulihat? Gadis cilik itu, yang pelan-pelan, ragu-ragu mendekati lantai sekitar altar, berhenti, melihat sekeliling, maju lagi, kemudian berlutut, membungkuk penuh hormat, menundukkan kepalanya ke lantai dan dengan lidahnya, menjangkau Hosti suci yang sebelumnya dilecehkan, Dia kemudian bangun, melipat tangannya, menutup mata dan berdoa. Setelah beberapa waktu dia berdiri dan menghilang. Dan setiap hari hal yang sama berulang.

Seberapa sering anak itu datang? Saya tidak dapat mengatakannya. Tetapi suatu pagi waktu dia datang untuk Yesusnya lagi, berlutut, melipat tangannya dan terbenam dalam doa.. pintu gereja dibuka dengan paksa. Saya mendengar teriakan liar, dan sebuah tembakan.

Anak itu terjatuh, mukanya pucat. Menahan badannya dengan satu tangan, dia merangkak penuh kesakitan menuju sebuah Hosti dan menerima Komuni Suci. Tentara itu mendekat dan melihat anak itu. Untuk terakhir kalinya gadis cilik itu berusaha berdiri dan melipat tangannya, tapi dia terjatuh ke belakang dengan kepalanya berdebum membentur lantai. Kemudian dia menutup mata untuk selamanya. Tentara itu, melihat si anak dan Hosti, untuk beberapa saat termenung diam dan tidak memutuskan apa-apa. Kemudian dengan langkah-langkah berat dia pergi meninggalkan gereja.

Saya masih syok dengan melihat pandangan yang menyakitkan yang terjadi pada anak itu, sang martir. Kemudian pintu penjaraku terbuka. Tentara yang sama berdiri disana dan berkata: ”Pak, anda sudah bebas!”

Saya menuju ke dekat altar secepat saya bisa. Saya baru saja berlutut di sebelah tubuh kecil yang tak bernyawa itu ketika tentara yang sama berdiri di depan saya. ”Pak,” katanya pada ku,” jika di setiap kota ada gadis kecil seperti ini, tak ada tentara yang masih mau berjuang untuk Komunis!”

Saya masih punya waktu untuk menguburkan sang martir cilik, tapi segera sesudahnya, di jalan menuju kuburan, seseorang mendekati saya, mengundang saya ke mobilnya dan membawa saya sampai ke perbatasan.

Translated from the German, from Die Schonsten Eucharistischen.
Kemudian diterjemahkan dari bahasa Inggris dari
http://www.frpaulnewton.com/alittlechinesegirlmartyr.html
←   →

VISIT NOW

111

Visitor

Flag Counter
 

Copyright © 2009 by Cerita Langit