Bagdad, ibukota Irak, mungkin dikenal sebagai kota padang pasir yang panas. Pada musim panas, temperaturnya dapat meningkat hingga 45 derajat Celsius. Sementara pada musim dingin, temperatur bisa anjlok hingga 2 derajat Celsius dan hampir tidak pernah bersalju.
Siapa sangka, musim dingin ekstrem pernah terjadi pada masa lampau di Bagdad. Dilansir Daily Mail Senin 27 Februari 2012, peneliti dari Universidad de Extremadura, Spanyol mengungkap bahwa kota ini pernah dilanda musim dingin ekstrem pada abad sembilan dan abad 10 kalender Masehi, atau abad tiga dan empat kalender Islam.
Menurut catatan, sungai-sungai yang mengalir di Bagdad sampai membeku akibat cuaca yang dingin. Pada tahun 908, 944, dan 1007 Masehi, salju turun dengan derasnya di ibukota Irak. Sementara di Bagdad modern, salju hanya turun pada 2008.
Kondisi cuaca Kota Seribu Satu Malam itu diperoleh para peneliti dari manuskrip penulis seperti Al Tabari, Ibnu Al Athir, dan Al Suyuti yang mendokumentasikan peristiwa ekstrem dari waktu ke waktu. Tidak hanya mendokumentasikan kondisi seperti kemiskinan dan kelaparan, mereka ternyata juga mendokumentasikan perubahan cuaca ekstrem.
"Tanda-tanda perubahan cuaca dingin yang ekstrem ini merujuk pada penurunan temperatur pada abad 10, tepatnya sebelum Zaman Pertengahan Hangat," kata penulis Fernando Dominguez-Castro dalam artikelnya di jurnal Weather.
Dominguez-Castro juga meyakini bahwa musim dingin Bagdad pada Juli 920 juga terkait dengan ledakan gunung berapi. Namun masih perlu dilakukan banyak penelitian untuk mendukung teori ini.
Temuan yang bersumber dari manuskrip Arab kuno ini diharapkan dapat membantu para peneliti dan meterorolog lebih memahami penyebab terjadinya perubahan cuaca yang ekstrem di bumi.
(Vivanews)