Jika sebuah kisah dituturkan dengan menggunakan kata ganti orang pertama "saya", pastilah kisah yang mengalir adalah pengalaman batin dari si pencerita itu sendiri. Kisah-kisah yang hadir dalam buku Tangan yang Menenun ini adalah juga sebuah kisah batin dari seorang ibu yang berstatus orang tua tunggal tapi berperan ganda-ayah sekaligus ibu dari anak-anaknya.
Tulisan "Mengapa Kita Tidak Kaya?" telah dihadirkan harian ini di halaman 11 pada Sabtu, 17 Juli 2004. Namun, versi koran dengan versi tulisan di buku ini tentu berbeda, baik dari segi kedalaman maupun panjang-pendeknya tulisan.
"Allah menenun sejak anak-anak berada dalam kandungan" (Mazmur 139:13), inilah dasar dari segala perkara, prahara, dan suka cita yang tertuang dalam buku. Tampak jelas, benang merah dari isi buku ini adalah bagaimana seorang ibu berusaha mempertanggungjawabkan dan menjaga "hasil tenunan" Allah agar menjadi seperti yang Allah inginkan. Kali ini, "hasil tenunan" itu berwujud dalam bentuk seorang anak bernama Dika.
Ada tawa bahagia, ada duka nestapa, ada air mata dalam kisah-kisah interaksi "saya" dan Dika dalam buku ini. Pembaca juga akan disuguhkan beberapa fragmen rumah tangga yang tak sepenuhnya terang. Namun bahasa yang disajikan penuh kelugasan dan jauh dari kesan dirumit-rumitkan.
Tentu pembaca akan bertanya, "Apa peran si ayah atau suami?", "Mengapa di kisah ini ada, lalu di kisah lain lagi seperti lenyap tersedot pusat bumi alias hilang?" Ada kesamaran alur yang mungkin dapat direka-reka oleh pembaca, bagaimana sebenarnya "jalan cerita" yang terjadi sehingga tokoh " saya" dalam kisah-kisahnya akhirnya memilih menjadi orang tua tunggal. Setidaknya, status "orang tua tunggal" dipatrikan sendiri oleh pengarang, Lesminingtyas, yang akrab dipanggil Ning atau Mbak Ning.
Dalam beberapa fragmen interaksi ibu-anak memang terselip peran seorang suami, namun peran itu muncul lebih banyak sebagai tokoh antagonis. Setidaknya tokoh suami atau ayah hadir di situ sebagai orang yang justru menjadi katalis hubungan batin antara ibu dan anak, namun bukan dalam sisinya yang positif. Lengkaplah sebuah drama keluarga.
Menurut pengakuan pengarang dalam bukunya, dia memiliki tiga anak, tapi dalam buku ini hanya "jagoan" pertamanya saja yang muncul, si Dika. Entah kalau "jagoan-jagoan"-nya yang lain akan muncul juga dalam buku-buku Ning selanjutnya.
Bagi para orang tua, buku ini pasti bisa menjadi salah satu acuan dalam mendidik anak. Buku ini seperti memberikan trik bagaimana menerapkan makna-makna yang abstrak bagi seorang anak kecil berumur sekitar 4 tahunan. Makna-makna abstrak itu bahkan terkadang tak bisa dipahami oleh seorang dewasa sekali pun.
Makna mengampuni, menang tanpa harus mengalah, dosa, cabul, dan berbagai makna yang rasanya cukup berat untuk dipahami oleh seorang anak, dicoba diterapkan oleh sang ibu dengan segala kelembutan, jauh dari kesan penyesalan dan luapan kemarahan. Pedoman semua itu adalah Alkitab, padahal untuk banyak orang Alkitab itu pun adalah buku yang begitu sulit untuk dipahami. Namun, kiat-kiat memahami isi Alkitab di sini bisa hadir secara begitu aplikatif.
Emosi kemarahan bercampur kasih yang makin dalam bisa terpancar begitu kuat dalam fragmen kehidupan "Astaga, Anakku Mencuri!" atau "Astaga, Anakku Bicara Kotor!". Kelucuan bisa muncul dengan begitu polosnya dalam "Donat Ayu". Pencarian makna kehidupan akan sangat kentara dalam fragmen "Mengapa Kita Tidak Kaya?".
Pada fragmen "Astaga, Anakku Mencuri!" malah terasa sekali interaksi tiga pihak beroposisi-ayah, ibu, anak-, namun bisa selesai dengan solusi yang sangat cair dan berujung pada makin indahnya hubungan ibu-anak. Ke mana sang ayah? Ya itu, tadi. Sang ayah hanyalah katalis yang makin memperat hubungan batin ibu dan anaknya.
Namun, memang terasa membingungkan untuk memahami suasana batin si anak saat si ibu selalu memperhadapkan fakta bahwa "Tuhan akan marah." atau "Tuhan menginginkan.", atau "Tuhan merencanakan.". Setidaknya, sebagai pembaca, letupan-letupan kejutan yang terjadi karena perkembangan setiap tokohnya-terutama Dika-akan menjadi kurang terasa karena kalimat-kalimat seperti di atas akan selalu muncul di permukaan untuk diperhadapkan pada kejutan-kejutan itu.
Pernyataan ini bukan hendak merendahkan makna kehadiran Tuhan yang mewarnai hubungan batin ibu-anak, atau yang melingkupi seisi buku. Hanya saja, model penulisannya bisa dipertimbangkan agar arah pemikiran pengarang tidak mudah terbaca.
Sebuah buku yang telah menjadi milik publik tentu dipertimbangkan untuk bisa dibaca oleh semua khalayak. Untuk pembaca yang belum punya anak atau belum menikah sekali pun, buku ini sangat bisa menjadi referensi karena menjabarkan makna kehidupan nan bersahaja, dan hubungan emosional yang naik-turun dari ibu dan anak ini begitu patut untuk direnungkan.
(Resensi Buku TANGAN YANG MENENUN* di Sinar Harapan)