Musim dingin yang ekstrem di sebagian besar wilayah Eropa, terutama di kawasan Eropa Timur, sudah menewaskan lebih dari 600 orang.
Musim dingin dengan temperatur minus yang menusuk dengan badai salju yang hebat yang belum pernah terjadi membuat banyak warga di sana terjebak di dalam rumah mereka. Salju tebal membuat mereka tak bisa keluar rumah dan akhirnya meninggal.
Otoritas Rusia, sebagaimana dikutip kantor berita AP, Rabu (15/2/2012), memberitakan, sekitar 205 warganya tewas akibat musim dingin yang mulai merambah kawasan itu sejak akhir Januari 2012. Sementara di Ukraina, sekitar 112 warganya tewas mengenaskan akibat musim dingin yang akut.
Sementara di Polandia, 107 warganya tewas terjebak dalam musim dingin yang praktis menutup jalan keluar warga dari rumah mereka. Kematian sekitar 35 orang terjadi di Hongaria, 20 orang tewas di Serbia, dan 10 orang tewas di Kosovo.
Badai salju dan tembok salju yang tebal membuat sekitar 23.000 orang terisolasi di 225 komunitas Romania selama lebih dari dua pekan akibat badai salju memblokade rumah dan melumpuhkan sistem lalu lintas kereta api.
Hampir 4.000 orang praktis terisolasi lebih dari satu pekan ini. Hari Rabu dilaporkan, mereka kini kehabisan makanan dan air serta obat-obatan. Otoritas Romania menyebutkan, tujuh warga tewas dalam 24 jam terakhir membuat total orang yang tewas akibat musim dingin akut di sana menjadi 86 orang.
KAITAN DENGAN EFEK GLOBAL WARMING
Kalau angin hangat dari Atlantik itu tidak muncul, udara dari daerah kutub bisa masuk Eropa.
Kenyataan itu terasa paradoks: para peneliti iklim Jerman menemukan keterkaitan antara musim summer yang relatif hangat (di kutub) dan suhu yang sangat dingin di Sibiria.
"Inggris mengalami periode suhu dingin yang terpanjang sejak tahun 1981. Beijing juga mencatat pagi yang terdingin sejak hampir 40 tahun. Di Florida ada untaian titik-titik air yang membeku di cabang pohon jeruk," demikian laporan majalah Focus di Jerman dua tahun yang lalu.
Pertanyaannya sekarang adalah, apakah ini ada hubungannya dengan pemanasan global?
Dua tahun telah berlalu, kini Turki mengalami musim dingin yang ekstrem. Di Bulgaria suhu udara minus 29 derajat Celsius pada minggu ini. Ini berarti, temperatur udaranya lebih rendah dibandingkan rekor suhu dingin dari 1942. Khususnya di Eropa Timur, suhu dingin mengakibatkan ratusan orang meninggal sampai sekarang. Lagi-lagi pertanyaannya adalah, ada apa dengan pemanasan global?
Kalau ditanyakan soal keterkaitan itu, sampai saat ini pun para peneliti iklim lebih banyak diam. Iklim itu berbeda dari cuaca, demikian dalih mereka. Mereka berpandangan bahwa variasi temperatur berjangka pendek tidak memungkinkan pengambilan kesimpulan tentang perubahan iklim untuk jangka panjang. Pemanasan iklim global terjadi secara pelan-pelan sejak awal industrialisasi, demikian penjelasan umum yang biasa kita dengar.
Penemuan baru di bidang penelitian iklim diterbitkan oleh Alfred-Wegener-Institut untuk Penelitian Daerah Kutub dan Laut, Jerman. Publikasi tersebut menjelaskan keterkaitan antara periode suhu dingin dengan pemanasan global. Analisa yang diterbitkan dalam jurnal Tellus A menggambarkan keterkaitan antara es di daerah kutub selatan yang berkurang dan cuaca dingin yang ekstrem di Eropa.
Para peneliti membandingkan data meteorologi musim dingin 1989-2010 dengan jumlah pelelehan es pada waktu musim summer di daerah kutub. Hasilnya: makin banyak es yang meleleh di daerah kutub waktu summer, makin hangat temperatur laut di daerah kutub.
Kalau permukaan es yang putih berkurang, berarti laut yang gelap muncul. Sinar matahari kurang direfleksikan oleh lautnya dibandingkan ketika masih ada permukaan es.
Efek itu disebutkan oleh para peneliti sebagai “arus balik albedo es“. Kehangatan yang disimpan ini dilepaskan lagi ke udara oleh laut pada musim gugur dan musim dingin. Karena itu, lapisan bawah atmosphere menjadi lebih hangat. Di tahun-tahun lalu, data satelit mengindikasikan, bahwa laut di kutub makin bertambah dengan mencairnya lapisan es.
"Karena udara dekat tanah dihangatkan, udaranya naik. Dengan begitu atmosphere menjadi tidak stabil,” tegas Ralf Jaiser. Selanjutnya, pola semacam ini mengubah sirkulasi dan tekanan udara di daerah kutub.
Salah satu pola yang saat ini terjadi adalah antagonisme tekanan udara antara daerah kutub dan daerah garis lintang tengah. Adapun ciri khas iklim di daerah itu disebutkan “Northatlantic Oszillation” (NAO) – yang ditandai oleh tekanan udara yang tinggi di daerah Azoren dan tekanan udara yang rendah di daerah Islandia.
Kalau perbedaan tekanan udara antara kedua daerah itu tinggi, angin barat yang kuat akan timbul. Angin itu membawa udara atlantik yang hangat dan lembab sampai ke wilayah Eropa. Kalau angin itu tidak muncul, udara dari daerah kutub bisa masuk Eropa.
Para peneliti menunjukkan dalam model-modelnya bahwa antagonisme tekanan udara yang digambarkan di atas makin lemah dalam musim dingin, semakin kecil luasnya permukaan laut yang tertutup oleh es waktu musim summer. Berarti, kalau begitu kondisinya, makin besar kemungkinan untuk hawa dingin yang ekstrem di musim dingin di Eropa.
Jaiser dan timnya bukan yang pertama yang menunjukkan keterkaitan tersebut.
“Musim dingin yang drastis seperti pada 2009 dan 2010 tidak merepresentasikan kontradiksi pada gambaran pemanasan global, akan tetapi melengkapinya," demikian penjelasan Vladimir Petoukhov dari Institut Penelitian Akibat Iklim di Potsdam, Jerman pada Nopember 2010. Hasil penelitiannya diterbitkan di jurnal untuk Geophysical Research. Kesimpulannya: kemungkinan adanya musim dingin dengan suhu yang sangat rendah akan menjadi tiga kali lipat di Eropa dan Asia Utara.
(Berbagai sumber)
Kenyataan itu terasa paradoks: para peneliti iklim Jerman menemukan keterkaitan antara musim summer yang relatif hangat (di kutub) dan suhu yang sangat dingin di Sibiria.
"Inggris mengalami periode suhu dingin yang terpanjang sejak tahun 1981. Beijing juga mencatat pagi yang terdingin sejak hampir 40 tahun. Di Florida ada untaian titik-titik air yang membeku di cabang pohon jeruk," demikian laporan majalah Focus di Jerman dua tahun yang lalu.
Pertanyaannya sekarang adalah, apakah ini ada hubungannya dengan pemanasan global?
Dua tahun telah berlalu, kini Turki mengalami musim dingin yang ekstrem. Di Bulgaria suhu udara minus 29 derajat Celsius pada minggu ini. Ini berarti, temperatur udaranya lebih rendah dibandingkan rekor suhu dingin dari 1942. Khususnya di Eropa Timur, suhu dingin mengakibatkan ratusan orang meninggal sampai sekarang. Lagi-lagi pertanyaannya adalah, ada apa dengan pemanasan global?
Kalau ditanyakan soal keterkaitan itu, sampai saat ini pun para peneliti iklim lebih banyak diam. Iklim itu berbeda dari cuaca, demikian dalih mereka. Mereka berpandangan bahwa variasi temperatur berjangka pendek tidak memungkinkan pengambilan kesimpulan tentang perubahan iklim untuk jangka panjang. Pemanasan iklim global terjadi secara pelan-pelan sejak awal industrialisasi, demikian penjelasan umum yang biasa kita dengar.
Penemuan baru di bidang penelitian iklim diterbitkan oleh Alfred-Wegener-Institut untuk Penelitian Daerah Kutub dan Laut, Jerman. Publikasi tersebut menjelaskan keterkaitan antara periode suhu dingin dengan pemanasan global. Analisa yang diterbitkan dalam jurnal Tellus A menggambarkan keterkaitan antara es di daerah kutub selatan yang berkurang dan cuaca dingin yang ekstrem di Eropa.
Para peneliti membandingkan data meteorologi musim dingin 1989-2010 dengan jumlah pelelehan es pada waktu musim summer di daerah kutub. Hasilnya: makin banyak es yang meleleh di daerah kutub waktu summer, makin hangat temperatur laut di daerah kutub.
Kalau permukaan es yang putih berkurang, berarti laut yang gelap muncul. Sinar matahari kurang direfleksikan oleh lautnya dibandingkan ketika masih ada permukaan es.
Efek itu disebutkan oleh para peneliti sebagai “arus balik albedo es“. Kehangatan yang disimpan ini dilepaskan lagi ke udara oleh laut pada musim gugur dan musim dingin. Karena itu, lapisan bawah atmosphere menjadi lebih hangat. Di tahun-tahun lalu, data satelit mengindikasikan, bahwa laut di kutub makin bertambah dengan mencairnya lapisan es.
"Karena udara dekat tanah dihangatkan, udaranya naik. Dengan begitu atmosphere menjadi tidak stabil,” tegas Ralf Jaiser. Selanjutnya, pola semacam ini mengubah sirkulasi dan tekanan udara di daerah kutub.
Salah satu pola yang saat ini terjadi adalah antagonisme tekanan udara antara daerah kutub dan daerah garis lintang tengah. Adapun ciri khas iklim di daerah itu disebutkan “Northatlantic Oszillation” (NAO) – yang ditandai oleh tekanan udara yang tinggi di daerah Azoren dan tekanan udara yang rendah di daerah Islandia.
Kalau perbedaan tekanan udara antara kedua daerah itu tinggi, angin barat yang kuat akan timbul. Angin itu membawa udara atlantik yang hangat dan lembab sampai ke wilayah Eropa. Kalau angin itu tidak muncul, udara dari daerah kutub bisa masuk Eropa.
Para peneliti menunjukkan dalam model-modelnya bahwa antagonisme tekanan udara yang digambarkan di atas makin lemah dalam musim dingin, semakin kecil luasnya permukaan laut yang tertutup oleh es waktu musim summer. Berarti, kalau begitu kondisinya, makin besar kemungkinan untuk hawa dingin yang ekstrem di musim dingin di Eropa.
Jaiser dan timnya bukan yang pertama yang menunjukkan keterkaitan tersebut.
“Musim dingin yang drastis seperti pada 2009 dan 2010 tidak merepresentasikan kontradiksi pada gambaran pemanasan global, akan tetapi melengkapinya," demikian penjelasan Vladimir Petoukhov dari Institut Penelitian Akibat Iklim di Potsdam, Jerman pada Nopember 2010. Hasil penelitiannya diterbitkan di jurnal untuk Geophysical Research. Kesimpulannya: kemungkinan adanya musim dingin dengan suhu yang sangat rendah akan menjadi tiga kali lipat di Eropa dan Asia Utara.
(Berbagai sumber)