Nama saya Klarisa Alodya Yane, saya sempat shooting untuk beberapa iklan provider, kemudian di FTV sebagai peran pendukung maupun peran utama. Waktu shooting yang tidak pasti seringkali membuat anak-anak mengeluh karena mereka terkadang juga ikut ke lokasi shooting.
“Nunggunya lama, Pi.. Kok ngga selesai-selesai sih..” demikian keluh anak-anak pada suami saya, Imam Santoso.
Akhirnya karena kasihan pada anak-anak, saya memutuskan untuk meninggalkan dunia entertainment itu. Namun baru saja memutuskan untuk meninggalkan aktivitas shooting, sebuah tawaran bagus datang. Dirumah, saya membicarakan tawaran ini kepada suami. Dia bilang terserah, saya juga berpikir kita kan juga lagi butuh, “Ya udah deh.. coba aja dulu.”
Bencana itu tidak pernah di duga
Sewaktu shooting sutradara memberikan pengarahan, “Story boardnya seperti ini. Iklan ini akan masuk rekor MURI, karena balonnya itu paling besar se-Indonesia. Jadi iklan ini dibuat se-real mungkin.”
Jadi waktu itu kita lagi olahraga di sekitar Sudirman situ, supaya yang lain itu mau ikut bermain dengan balon itu, jadi seneng sama balon itu. Wah.. kayanya fantastis deh..
Dengan semangat kami siap-siap untuk shooting balon besar tersebut. Malah sempat foto-foto dulu.. sama sekali tidak menyangka akan ada bahaya besar menanti. Beberapa talent saat itu disuruh kumpul dan diminta pegang balon tersebut.
“Action…” teriak sang sutradara..
Tapi tiba-tiba terdengar suara sangat keras… “Duar..!”
Saya sempat merasa agak terlempar. Saya lihat teman-teman mukanya sudah hitam-hitam, rambutnya berdiri-berdiri, sampai pengen ketawa. Tapi saya sendiri merasakan perih banget di muka, tangan dan kaki. Saya lihat teman saya juga mukanya pada terkupas-terkupas seperti itu.
“Panas..! Panas..!” teriak mereka. Saya juga merasakan memang panas sekali. Pas lihat-lihat, tangan saya sudah lengket. Telapak tangan ini sudah penuh minyak dan darah, serta tidak bisa digerakkan. Sambil nahan sakit, saya Cuma berkata, “Tuhan tolong saya ! Tuhan tolong saya!”
Waktu itu sebenarnya mau jalan juga sudah agak susah. Namun teman saya ini berkata, “Kita harus ke rumah sakit. Kita harus minta tolong..” Sambil nangis dan teriak panas, panas, minta tolong, akhirnya ada satu orang mbak wardrobe bilang, “Mbak Yane sini, ikut mobil wardrobe aja sini.” Saya sudah ngga bisa apa-apa, jadi minta tolong untuk telephonin suami saya.
“Segera ke rumah sakit, karena ada kecelakaan..” demikian ucap wanita bagian wardrobe yang menolong Yane kepada Santoso. Suami saya sama sekali tidak terbayang kecelakaan apa yang telah terjadi saat itu.
Panas dan sakit tak tertahankan, itu yang saya rasakan saat itu. Dari ujung kepala hingga ujung kaki, semuanya terasa sakit. Tiba di rumah sakit, dalam keadaan setengah bingun kami mencari pertolongan. Semua orang berebutan minta untuk dirawat duluan. Mereka juga sakit juga dan merasa tidak tahan dengan rasa sakit yang mendera. Dokter waktu itu berkata, “Bu, tunggu dulu ya. Disana ada yang lebih parah..”
Saya tidak tahan dengan rasa sakit yang saya rasakan, dan berlari kesana kemari untuk meminta pertolongan. “Aduh dok, aku juga sama parahnya. Aku sudah ngga tahan dokter! Tolong..! Tolong!”
Mengalami masa kritis
Saat itu semua dokter sibuk, hingga tiba-tiba saya terjatuh ke lantai tidak sadarkan diri. Santoso tiba di rumah sakit dan melihat kondisi disana sangat ramai, “Saya bertanya-tanya, ini sebenarnya kecelakaan apa. Saya tanya sama susternya, ‘Bu ini ada apa..?’ Dia jawab, ‘Oh, ada balon meledak.’ Saya pikir balon yang meledak segede apa sih? Tapi begitu masuk, ternyata dia sudah merah-merah semua. Itupun jujur saya belum tahu karena pas saya dateng sudah dibungkus. Tangan dan kaki dibungkus perban. Tingkat keparahannya saya tidak tahu.”
Karena tidak tahan dengan rasa sakit itu, saya pingsan. Waktu tidak sadarkan diri itu, saya rasakan nyaman banget. Sama sekali tidak merasakan sakit.
“Terima kasih Tuhan, aku kayanya sudah enak banget nih..”
Saya melihat sebuah sinar putih, dan sepertinya saya disuruh memilih. “Duh, ini enak banget nih.”
Tapi waktu itu saya mendengar suara suami, “Ingat Jeva, ingat Fay..” Saya sendiri bertanya-tanya, “Ini dimana ya, kok rasanya senang banget… Nyaman banget..?”
Dokter melakukan berbagai upaya untuk menyelamatkan Yane, mulai dari memompa jantungnya hingga menggunakan alat kejut jantung.
Tiba-tiba di dada terasa kencang, hingga akhirnya saya sadar dan merasakan lagi sakitnya. Perih, panas, semuanya campur aduk. Dokter saat itu bilang, “Ayo.. bangun-bangun..” Akhirnya saya dipindahkan ke ruangan ICU.
Anakku takut melihat wajahku
Saya ngga bisa terbayang bagaimana keadaan wajah saya, sampai-sampai anak-anak saya sendiri ketakutan saat melihat wajah saya. Pertamanya dia lihat, dia bilang, “Bukan, itu bukan mami..”
Kalau anak kecil takut, berarti parah banget kan.. Mungkin bagi dia mengerikan. Akhirnya, mereka ngga mau melihat saya. Suami saya akhirnya ajak mereka keluar, mungkin karena takut saya dengar macem-macem. Setelah dikasih pengertian sama papinya, akhirnya anakku masuk dan mulai pegang saya.
Aku ingin mati saja
Tiap tiga hari sekali, perban harus diganti. Waktu pergantian perban itu, saya harus merasakan sakit yang amat sangat. Waktu itu aku pikir, aku sudah lewat kali ya. Kayanya mau loncat, atau mau gimana. Karena memang terbaringkan, aku ngga bisa diri. Waktu dibuka perbannya, aku teriak-teriak. Suamiku cuma pegangin dan bilang, “Udah.. sabar..sabar..”
Tolongin… tolongin.. Aku juga teriak-teriak : Jangan! Jangan! Aku ngga mau diganti perbannya. Perih banget! Dokter ngga mau.. ngga mau..!
Dokter itu cuma bilang, “Tahan.. tahan..”
Saya selalu menyesali, “Tuhan, kenapa ini terjadi sama saya? Kenapa sih Tuhan? Kenapa sih Tuhan?”
Saya bilang sama suster, “Suster tolong aku. Aku ngga tahan, aku ngga kuat lagi suster. Beneran, aku ngga kuat lagi. Suntik mati aja aku.”
“Ngga bisa..” dia bilang begitu.
“Suster takut?” Aku sampai jadi marah sama suster itu. “Suster kenapa suster ngga mau? Kan aku yang mau, nanti aku tanda tangan! Suster, ini aku dah ngga tahan banget. Sekarang tolong ambil!”
Suster itu cuma bilang, “Sabar ya bu.. sabar.. Ibu tetap cantik kok.. ”
Suster itu akhirnya cuma mengelus-ngelus saya. “Ibu pasti bisa ngelewatin ini..” ucapnya.
Mukjizat itu terjadi
Akhirnya masa kritis itu lewat juga, namun harapan untuk pulih kembali menghilang saat dokter bilang luka bakar itu ngga ada yang sembuh seratus persen. Berarti saya ngga bakalan sembuh dong. Saya cuma tanya, “Berarti mukaku ngga balik nih? Mukaku masih begitu Tuhan, geradakan..? Gimana Tuhan, aku ngga bisa kaya gini?” Banyak deh yang membuat saya mempertanyakan Tuhan.
Hingga suatu malam saya diingatkan, “Yane, Tuhan itu dulu dicambuk. Dia melewati yang susah juga, sakit, bahkan mungkin lebih sakit dari yang kamu alami sekarang.”
Oh ya.. ya.. Tuhan dulu dicambuk berkali-kali sampai berdarah-darah. Jatuh bangun lagi, jatuh bangun lagi. Masa aku ngga bisa.
Setelah saya baca Roma 5:3-5 yang berkata, “Tetap berharap, karena pengharapan Tuhan itu tidak akan mengecewakan.” Saya jadi flash back lagi, gimana saya bisa sampai masuk ke dunia entertainment sampai kejadian ini. Disitu saya diingatkan untuk berharap terus.
Saya mulai mengerti dan belajar menerima. Saya tidak perlu mempertanyakan Tuhan. Tapi bagaimana saya menghadapi kedepannya? Saya Cuma bisa berserah. Saya Cuma yakin dan percaya Tuhan pasti menyembuhkan. Kalau saya diberikan kesembuhan, berarti saya diberikan kesempatan lagi untuk berbuat yang lebih baik. Dan tiap malam, tiap hari aku selalu dengar lagu Mukjizat Setiap Hari.
Selama ku menyembahMu.. kupercaya
Bahwa Mukjizat masih terjadi…
Selama kau besertaku…kumelihat…
Ada mukjizat setiap hari..
Di situ saya mulai berdoa lagi, mulai percaya bahwa saya pasti bisa sembuh. Mukjizat Tuhan pasti masih terjadi setiap hari. Yang penti selama kita masih menyembah Dia, Tuhan pasti kasih kesembuhan. Dengerin lagu itu, saya makin dikuatkan. Sampai akhirnya saya merasa Tuhan pasti akan memulihkan saya. Sekalipun saat itu saya belum bisa melihat, tapi saya percaya Tuhan pasti akan memulihkan. Tuhan pasti akan memberikan mukjizatnya buat saya.
Setelah satu bulan di rumah sakit, akhirnya aku diperbolehkan pulang. Melihat kulitku ini sekarang, mukjizat Tuhan itu benar-benar terjadi sama saya. Tuhan itu benar-benar berikan kesembuhan yang sempurna buat saya. Waktu itu sempat saya ragu, apa Tuhan bisa sembuhkan. Tapi kalau membandingkan kondisi saya yang dulu dengan sekarang, saya bisa berkata Tuhan itu maha menyembuhkan, maha besar.
Tuhan Yesus, terima kasih atas mukjizat-Mu yang Engkau nyatakan dalam hidupku. Atas peyembuhan-penyembuhannya. Atas berkat-berkat yang Engkau berikan pada keluarga kami ya Tuhan. Mukjizat-Mu nyata dalam kehidupan kami. Kalau saya masih ada sekarang ini, dengan kondisi yang seperti ini, itu benar-benar mukjisat Tuhan.
Sumber Kesaksian: Klarisa Alodya Yane
Jawaban.com