Negeri China selalu menyimpan kisah pilu, khususnya bagi anak Tuhan yang berdomisili di negeri tirai bambu itu. Penangkapan, pemenjaraan, penganiayaan hingga sampai meregang nyawa, bukan sesuatu yang baru di negeri China. Ini yang mendasari menjamurnya gereja-gereja “bawah tanah” di negeri China, bak cendawan di musim hujan.
Tak hanya kebebasan beribadah yang langka di negeri China, Alkitab juga jarang ditemukan di negeri panda. Akibatnya, lembar demi lembar halaman Alkita dirobek, dan dibagikan kepada tiap orang Kristen. Lembar itu kemudian dihapalkan, dan esok minggu dibagikan kepada saudara seiman lainnya.
Ngen Do Man, pendeta setempat, adalah martir China yang tewas pada tahun 1991. Satu hari di bulan Januari, ia sedang menuju pertemuan dengan orang-orang Kristen lainnya di sebuah ibadah rumah yang tersembunyi di balik bukit. Ini bukan perjalanan pertama bagi pendeta yang juga sekaligus berprofesi sebagai penginjil itu.
Selama tiga tahun melayani Tuhan, Ngen Do Man sudah memenangkan lebih dari 200 jiwa di negeri China. Walhasil, ia diberi catatan hitam oleh otoritas negeri China, dan beberapa kali dijadikan target operasi bak penjahat kelas kakap. Selama tiga tahun itu pula, Ngen Do man berhasil melarikan diri. Tapi hari itu, kisahnya tak lagi sama.
Di tengah perjalanan, belasan orang berwajah sangar dengan senjata tajam menghadang Ngen Do Man. Tanpa gentar sedikit pun, Ngen Do Man memanjatkan doa, “Tuhan, terima kasih aku boleh mendapatkan kehormatan demi memperjuangkan namaMu. Ampunilah mereka. Jangan tanggungkan dosa ini kepada mereka,” siang itu untuk terakhir kalinya, Ngen Do Man melayani Tuhan di dunia. Usai berdoa, ia pun diserbu dan disiksa, dengan 13 tusukan yang menewaskan nyawanya seketika.
Tiga tahun kemudian, sebuah rumah di Taoyuan, Saanxi, yang difungsikan sebagai tempat ibadah, diserang. Dua orang perempuan muda Kristen tak berhasil melarikan diri. Salah seorang dari mereka bernama Lai Manping, yang baru berusia 20 tahun. Mereka dipukul dengan kejam, ditaruh di atas kompor, dan batu gerinda seberat 59 kg diletakkan di atas punggung mereka. Kemudian mereka dipukuli dengan tongkat, pakaian mereka dilepas, dan (maaf) pantat mereka dilecut dengan cambuk yang ujungnya berkait. Maka, segumpal daging terlepas, darah segar pun mengucur deras.
Manping akhirnya tewas mengenaskan. Usai penyiksaan, seorang Kristen yang lain mengambil mayat Manping dan segera menguburkannya tanpa ada upacara apa pun.
Kisah pilu dari negeri tirai bambu terus berlanjut, kali ini terjadi di tahun 1996. Gereja rumah di desa Xiangshan, Guandong, diserbu untuk keempat kalinya. Syahdan, seorang pemuda berusia 17 tahun, Jiang Guoxion, tertangkap dan dibawa ke penjara. Jiang adalah anak pemimpin gereja, Yang Qun.
Di sana, Jiang diperlakukan dengan brutal. Ia dipukuli dengan kejam di hampir semua bagian tubuhnya. Tak cukup sampai di situ, otoritas juga menyiksanya dengan sebuah alat penjepit jempol. Sementara Jiang menghuni rumah prodeo, Yang Quan sang ayah, terus mewartakan injil dan tetap membuka rumahnya sebagai tempat peribadatan orang Kristen di sana.