Cinta dalam Sepotong Ledre

Dari tangannya lahir oleh-oleh khas Laweyan. Ledre pisang, makanan sederhana itu, ikut mengharumkan kawasan batik Solo.

Tangan keriput Sri Martini Budisutrisno (70) dengan cepat mengupas pisang yang sudah matang. Pisang-pisang itu diletakkan dalam mangkok, lalu dengan menggunakan kepingan kecil dari batok kelapa, ia pun menekan-nekan pisang itu sampai hancur.

”Pisangnya jangan yang terlalu muda, harus yang agak dalu,” kata Martini, yang tangannya terus bekerja ketika berbicara.

Dari mangkuk lainnya, Martini mengambil sesendok adonan ketan yang sudah bercampur parutan kelapa. Adonan itu diratakannya, membentuk lingkaran kecil, lalu di atasnya ditaruh adonan pisang.

”Tak ada pengawet, tak ada bumbu. Hanya garam yang dicampur dengan adonan ketan dan parutan kelapa,” katanya.

Ketika diletakkan di atas penggorengan, Martini mengecilkan apinya. ”Cuma begini saja, enggak pake minyak goreng,” katanya, sambil jarinya terus menekan-nekan ketan ke permukaan penggorengan. Ketika ia memperkirakan permukaan ketan sudah mulai ”matang” (warnanya coklat tua seperti kerak yang hangus), Martini langsung membaliknya dan kemudian menggulung ketan berisi pisang tersebut. Ledre yang masih panas pun siap disantap.

Martini langsung memotong-motong daun pisang untuk menjadi alas ledre. Ketika disantap, rasa ketan bakar bercampur dengan rasa pisang bakar. Tidak lengket di tangan karena digoreng tanpa minyak. Rasa manisnya pun alamiah karena berasal dari pisang yang sudah masak. Teman yang cocok bagi secangkir kopi tubruk atau teh hangat.

”Hotel-hotel banyak yang pesan untuk penganan sore hari. saya harus buru-buru menyelesaikan 150 potong ledre sebelum jam tiga siang ini,” kata Martini.

Bekal hidup

Martini, janda yang ditinggal meninggal suaminya ketika keempat anaknya masih kecil, mengaku hidupnya berubah total berkat ledre pisang. Total, karena dengan ledre ia mencurahkan seluruh tenaga dan keringat untuk menghidupi keempat anaknya. Total, karena berkat ledre keempat anaknya berhasil lulus menjadi sarjana, memperoleh pekerjaan, menikah, dan bisa membangun rumah masing-masing.

”Saya tak pernah bermimpi bisa menyekolahkan anak sampai sarjana. Ketika mereka bilang mau kuliah, saya kaget dan bingung. Dari mana uangnya? Lalu saya bilang kepada anak saya, kamu boleh kuliah tapi harus di universitas negeri dan harus di Solo, biar ngirit,” ujarnya. ”Alhamdulillah, mereka semua bisa kuliah. Mereka juga kuliah sambil berjualan ledre di kantin sekolahnya,” tambahnya.

Ini tahun ke-27 Martini berjualan ledre. Kini ia tinggal seorang diri di rumahnya yang sederhana di Jl Setono, kampung Batik Laweyan. Rumah itu sekaligus menjadi dapurnya. ”Anak- anak kadang berkunjung pas hari Minggu,” katanya.

Ia tak pernah memiliki asisten atau karyawan. Semua urusan dikerjakannya sendiri, mulai belanja bahan baku, memarut kelapa, memasak literan ketan, menggoreng, sampai membungkus. ”Saya lebih suka bekerja sendiri. Sudah biasa bekerja keras. Tapi sekarang ada yang membantu untuk cuci piring,” katanya.

Artinya, selama puluhan tahun, perempuan yang sudah mulai renta ini hanya tidur dua sampai tiga jam per harinya.

”Saya tidur jam 1 pagi karena harus mempersiapkan jualan untuk besok. Bangun jam 4 pagi, setelah shalat saya langsung membuat jajanan kue lumpur. Semua rampung jam 6. Setelah itu saya menyiapkan ledre karena jam 7 pagi sudah ada pesanan yang akan diambil. Sekitar jam 7.30 saya lari ke pasar untuk beli pisang dan bahan lainnya karena jam 9 pembeli sudah pada datang,” katanya.

Begitulah pergulatan Martini dari hari ke hari selama puluhan tahun, tanpa henti. ” Hari Minggu tetap buka karena tamu banyak yang datang. Pas Lebaran pun tamu datang minta ledre,” kata Martini yang dalam sehari menghabiskan 10 sisir pisang dan delapan butir kelapa.

Tak ingin pensiun? ”Tidak. Saya bahagia seperti ini. Anak-anak bilang saya sudah tua enggak usah kerja. Tapi saya mau ngapain kalau enggak kerja? Badan bisa sakit semua,” katanya.
←   →

VISIT NOW

111

Visitor

Flag Counter
 

Copyright © 2009 by Cerita Langit