Baca juga bagian Pertama
Menabur Pada Kehidupan Kekal
Kita harus “memilih kehidupan” dengan menabur apa pun benih yang diberikan Allah kepada kita. Ini yang diperintahkan Allah kepada bangsa Israel ketika mereka masuk ke tanah yang dijanjikanNya: “Aku memanggil langit dan bumi menjadi saksi terhadap kamu pada hari ini: kepadamu ku perhadapkan kehidupan dan kematian, berkat dan kutuk. Pilihlah kehidupan, supaya engkau hidup, baik engkau maupun keturunanmu, dengan mengasihi Tuhan, Allahmu, mendengarkan suaraNya dan berpaut padaNya, sebab hal ini berarti hidupmu dan lanjut umurmu untuk tinggal di tanah yang dijanjikan Tuhan dengan sumpah kepada nenek moyangmu, yakni kepada Abraham, Ishak dan Yakub, untuk memberikannya kepada mereka” (Ulangan 30:19-20).
Ketika kita menabur untuk Allah dan KerajaanNya, kita mengakuiNya sebagai sumber dan satu-satunya yang bisa memberkati kita. Bila kita memilih untuk menabur demi hasrat sendiri, sebagaimana yang dilakukan dahulu oleh Adam, kita menempatkan diri kita di bawah kutuk yang sama (lihat Kejadian 3:17-19). Kutuk itu adalah kita akan berjerih lelah ketimbang menikmati membanjirnya berkat dan hubungan yang erat dengan Allah.
Musa menjelaskan hidup untuk menabur kembali kepada Sang Sumber dengan “mengasihi Tuhan Allahmu, dengan mendengarkan suaraNya dan berpaut padaNya” – kasih, dengar-dengaran dan mempercayai Allah.
Mengasihi Tuhan berarti hubungan akrab kita denganNya menjadi yang terutama di atas segala sesuatu. Kita menabur adalah tindakan mengasihi dan memuji Allah. Ketika kita menabur kasih, kita menjadi dekat dengan Tuhan. Kita memberkati hati kita yang terdalam bagi Allah, bukan dunia. Kita menabur pujian untuk menyentuh hatiNya dan mengatakan, “Allah, aku mengasihi Engkau lebih dari segala yang saya cintai.” Kita harus menabur dengan kasih.
Kita mulai menabur dalam ketaatan akan kehendak Allah. Kisah bagaimana Abraham mempersembahkan anaknya, Ishak, menunjukkan kepada kita bahwa kepatuhanlah yang terutama. Ingat bahwa kita bukan menabur karena kewajiban hukum, melainkan karena ketaatan. Kepatuhan kita adalah bukti bahwa kita mendengar dan mengakui Allah sebagai sumber. Kita menabur untuk menyenangkan Allah, bukan untuk menghindari hukuman. Kepatuhan kita, seperti kasih kita, berasal dari hati.
Kita menabur dengan percaya Allah akan menambahkan dan berpegang erat pada Allah, bukan menggenggam erat benih. Allah ingin mengaruniakan kehidupan yang berkelimpahan. Ketika kita menabur pada Kerajaan Allah dan apa yang dikerjakan Allah di gereja lokal kita, kita tahu bahwa kita akan menuai panen jiwa dan banyak orang akan datang kepada Allah karena visi dari gereja setempat itu. Itulah kehidupan! Itu bukan hidup Anda; melainkan kehidupan dari Allah. Kehidupan di dalam daging tak bisa menyelamatkan siapapun.
Menabur dalam kehidupan Allah adalah menginvestasikan berkat Allah dengan visi yang jelas. Kita melihat keluar diri kepada kita dan menangkap kehendak surgawi – menyelamatkan dan memulihkan jiwa-jiwa. Menabur tanpa visi yang jelas adalah menghabiskan gaji demi sebuah kapal yang tak mampu kita bayar dan hanya akan dipakai beberapa bulan saja dalam setahun. Menabur tanpa visi adalah membeli mobil baru dengan cicilan tinggi yang akhirnya memaksa kita tak sia pada tagihan-tagihan lain dimana kita sudah harus melunasinya. Ketika kita menabur kehidupan, kita menabur pada iman.
Benih yang dikumpulkan petani untuk dirinya sendiri pada akhirnya akan membusuk karena tidak ada kehidupan di sana. Benih hanya akan hidup bila diletakkan di tanah. Bila tidak ditabur kembali, tidak akan ada panen tahun depan. Ketika petani menabur benih ke tanah yang gembur, dia memimpikan hasil yang akan didapatkan di masa depan. Memerlukan visi untuk menabur dalam Roh – membiarkan angin dari Allah menerbangkan benih dari tangan dan menanamnya di tempat yang bisa memberikan hasil terbaik.
Source : Disadur dari: Buku Strategis for Financial Breakthrough (Eugene Strite)