Menabur adalah sebuah keputusan antara hidup dan mati. Bila memilih menabur untuk diri sendiri, kita mengikat tangan Tuhan sehingga Ia tak bisa memberkati kita. Tak ubahnya seperti berdiri di tengah ladang dengan benih di genggaman, kita tidak menanamnya, tapi seraya mengharapkan hasil yang lebih banyak. Benih itu tentu tak bisa tumbuh di tangan kita.
Bagian Alkitab ini mengajar prinsip yang lain: Kita akan melayani dimana kita menabur. Bila menabur ke dalam daging, kita akan mengabdikan diri pada kedagingan; bila menabur untuk Tuhan, kita melayani Tuhan. Kita tak bisa melayani keduanya. Yesus berkata, “Tak seorangpun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon” (Matiu 6:24).
Menabur Pada Hal Kedagingan
Dalam logika sederhana, menabur dalam daging sama dengan menanam semua milik saya untuk memenuhi kebutuhan sesaat tanpa mengindahkan hal-hal yang sifatnya abadi. Dalam kasus ini, pendapatan saya dihabiskan untuk kenyamanan yang sebagaian besar tidak benar-benar saya perlukan. Saya memilih untuk merasa nyaman atau menyenangkan kedagingan dari pada menyimpan dan menginvestasikan benih yang Tuhan telah berikan bagi saya. Dengan begitu, saya mengabaikan Tuhan dan menyenangkan diri sendiri.
Paulus berkata di Galatia 6, “Allah tidak membiarkan diriNya dipermainkan.” Dengan kata lain, kita tak bisa membodohi Tuhan. Kita bisa mengangkat dagu di hadapan Allah seperti anak yang manja dan tak tahu terima kasih. Sama seperti anak muda yang mengambil uang ayahnya, menghabiskannya di bar dan berakhir di kandang babi mencari ampas makanan (baca Lukas 15:11-18). Kita menyombongkan diri pada Bapa surgawi dengan tidak mengakuinya sebagai sumber dari apa yang kita miliki.
Dengan begitu, kita memilih untuk hidup dengan kekuatan sendiri dan melupakan segala berkat yang telah diberikan Allah. Banyak orang bergumul dalam pertempuran hebat untuk mengatasi kesulitan keuangan. Apa pun yang mereka lakukan, mereka tak pernah bisa mengatasinya. Mereka bekerja keras mencari penghasilan yang tak pernah mencukupi. Masalahnya, mereka memakan benih itu sendiri dan bukan menaburnya kembali bagi Tuhan. Bila tidak ada yang ditaburkan, otomatis tak ada yang bisa dipanen.
Ketika kita menabur dalam kedagingan, dalam kebiasaan berkubang dalam dosa, kita hanya akan mendapatkan lebih banyak kedagingan. Hanya ada satu ujung bagi kedagingan-mengalami kerugian dan mati.
Cukup dengan berjalan dari rumah saja, Anda akan bisa melihat benih yang telah ditaburkan. Gaya hidup mereka menunjukkan bahwa mereka menggunakan benih mereka untuk kesenangan sesaat. Bukannya mereka tak mampu menyimpan dan menabur; mereka cuma tak melakukannya. Mereka menabur benih dengan cara yang tak menghasilkan. Lebih banyak lagi benih terbuang sia-sia pada akhir bulan ketika tagihan telepon datang. Karena semua benih telah habis terpakai, akhirnya mereka tidak bisa membayar tagihan, dan seperti orang bodoh berbicara dengan telpon yang tak aktif lagi.
Menyumbang uang untuk kegiatan yang positif atau pada pengkhotbah di televisi atau pada orang miskin juga tak cukup. Yesus tak pernah tergerak oleh kebutuhan, karena Ia hanya menjalankan perintah BapaNya. Benih kita harus ditabur dalam kerajaan Allah melalui gereja lokal.
Kepada orang miskin kita tak memberi benih, tetapi membagi hasil panen (roti). Alkitab berkata agar kita memberikan roti kepada orang miskin (lihat Yesaya 58:7). Roti adalah apa yang kita miliki di rumah kita, benih adalah milik Tuhan. Benih adalah apa yang kita tabur. Anda tidak bisa memberikan perpuluhan kepada orang miskin dan mengharap panen. Anda bisa memberikan roti hasil panen kepada orang miskin dan Tuhan akan melipatgandakannya. Tetapi bila Anda memberikan benih kepada orang miskin, mereka akan memakannya dan tidak ada lagi untuk ditanam.
Taburlah benih pada hal-hal yang bisa berlipat ganda dengan sendirinya. Hanya benih yang ditaburkan yang dapat dibuat bertambah banyak oleh Allah.
Source : Disadur dari: Buku Strategis for Financial Breakthrough (Eugene Strite)