Kapan pengudusan dimulai dalam diri seorang Kristen, siapa yang mengerjakannya dan kapan pengudusan itu akan berakhir? Hal apa atau siapa yang menentukan seseorang kudus sebagaimana yang Allah mau?
Apakah perbuatan baik cukup untuk mencapai kekudusan dan apakah seorang Kristen dapat mencapai kekudusan yang sempurna (perfection) hingga mencapai kesempurnaan yang dimiliki Allah (the moral perfection of God). Siapakah yang memiliki peran utama yang mengerjakan pengudusan tersebut? Hak apakah yang dimiliki orang Kristen andaikata ia mencapai level kekudusan tertentu dan apakah tujuan utama pengudusan tersebut? Pertanyaan-pertanyaan di atas penting untuk dijawab dengan tepat sebagaimana diajarkan Alkitab, dan jawabannya akan sangat menentukan sikap dan tindakan seorang Kristen terhadap kekudusan Allah dan dalam menghidupi kekudusan itu.
Pembenaran dan Pengudusan
Pengudusan orang Kristen dimulai ketika ia lahir baru, yaitu pada saat ia menerima anugerah keselamatan Allah yang dikerjakan oleh Roh Kudus yang memimpinnya menyadari keberdosaannya (bertobat) dan menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya (Ef. 2:8; Yoh 1:12). Banyak hal yang dianugerahkan secara bersamaan (simultan) pada saat seseorang menerima anugerah keselamatan di dalam Yesus Kristus, secara simultan pada saat bersamaan ia menerima hak-hak dan kekayaan rohani yang luar biasa dari Allah, ia menerima: iman dan keselamatan (Efe 2:8-9); hak menjadi anak Allah (Yoh 1:12); Roh Kudus (Gal 4:6); pertobatan (Kis 11:18); pengampunan dosa (1 Yoh 1:9); keselamatan kekal (1 Yoh 5:11-13); penyertaan Allah (Ibr 13:5), dsb. Dalam peristiwa ini pengudusan merupakan konsekuensi langsung dari pengampunan Allah melalui karya penebusan Kristus (redemption) di kayu salib (1Pet 1:18-19). Melalui proses inilah seorang Kristen dinyatakan kudus atau dibenarkan dan memiliki hak waris di sorga (Roma 8:15-17).
Di dalam Alkitab konsep pembenaran memiliki tempat yang sangat penting untuk dipelajari orang Kristen. Seseorang hanya dapat disebut kudus apabila ia terlebih dahulu telah dibenarkan oleh Allah melalui karya kematian Kristus. Istilah yang dipakai oleh Martin Luther adalah justification by faith alone. Luther mengalami pergumulan berat dalam mencapai kepuasan rohani melalui usaha keras dalam doa, puasa, membaca Kitab Suci dan berbuat baik, namun tidak ada bukti dan keyakinan bahwa dengan itu semua ia merasa mendapat pengampunan. Hingga ia tiba pada surat Roma 1:16-17, Roh Kudus membuka mata rohaninya untuk melihat bahwa hanya oleh kuasa Allah seseorang bisa diselamatkan melalui iman. “Sebab aku mempunyai keyakinan yang kokoh dalam Injil, karena Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya, pertama-tama orang Yahudi, tetapi juga orang Yunani. Sebab di dalamnya nyata kebenaran Allah, yang bertolak dari iman dan memimpin kepada iman, seperti ada tertulis: “Orang benar akan hidup oleh iman” (Roma 1:16-17). Dibenarkan artinya dinyatakan benar, tak bersalah, tidak berdosa, dibebaskan dari semua tuntutan dan segala akibatnya karena semua itu telah dibayar (ditebus) dalam kematian Kristus di kayu salib (Roma 3:24; 5:1,9).
Alkitab dengan tegas menyatakan bahwa manusia tidak dibenarkan (diampuni) dengan melakukan hukum Taurat atau melalui perbuatan baik (Gal. 2:16), tetapi hanya melalui iman yang dianugerahkan Allah. Agustinus (pertengahan abad ke-4) menegaskan bahwa manusia berdosa tidak mungkin meresponi kehendak Allah tanpa anugerah Allah, anugerah Allah mendahului respon atau kata-kata kita untuk menerima Kristus dalam doa kita (grace is prior to our respond). Dengan kata lain mustahil seseorang bisa bertobat dan percaya kepada Allah kecuali jika Roh Kudus telah bekerja terlebih dahulu dalam diri orang tersebut, jadi Allah yang terlebih dahulu aktif dan berinisiatif menyelamatkan kita. Dengan demikian pengudusan berasal dari inisiatif Allah, tidak seorang pun di dunia ini memiliki kelayakan untuk dibenarkan atau dikuduskan sehingga beroleh keselamatan. Hanya oleh Allah melalui iman yang dianugerahkan seseorang dibenarkan, dikuduskaan dan diselamatkan. Haleluya!
Pengudusan Sempurna
Apakah orang Kristen bisa mencapai kekudusan yang sempurna (moral perfection) tanpa dosa sama sekali, dan apakah dapat dibenarkan jika ada yang mengajarkan demikian? J.C. Ryle dalam bukunya “Aspects of Holiness” mengatakan: “Saya terpaksa menyimpulkan bahwa orang-orang yang mempercayai kesempurnaan tanpa dosa dalam kehidupan di dunia ini adalah orang yang tahu sedikit sekali tentang natur dosa atau kesucian Allah. Saya memprotes ajaran yang tidak Alkitabiah seperti ini karena merupakan khayalan yang berbahaya.” Orang-orang Kristen atau hamba Tuhan yang mengajarkan bahwa kekudusan yang sempurna tanpa dosa bisa dicapai di dunia ini, akan berkhayal dan menyombongkan dirinya, merasa dirinya layak di hadapan Allah atau bahkan menganggap dirinya paling suci, dan orang lain paling berdosa.
Kitab Suci tidak pernah mengajarkan hal demikian, pada satu sisi memang orang Kristen telah memiliki status kudus melalui lahir baru (definitive sanctification), tapi pada sisi lain di dalam dunia ini orang Kristen masih berada dalam tubuh yang memiliki keinginan daging untuk berbuat dosa. Seperti dikatakan Luther “simul iustus et pecator,” pada saat bersamaan orang Kristen adalah orang kudus dan orang berdosa. Dalam hal ini kita perlu membedakan antara “status” (telah dikuduskan/dibenarkan) dan “kondisi” yang terus-menerus menuntut pengudusan (progressive sanctification). Dengan demikian hidup kudus adalah suatu proyek ketaatan dan penyerahan diri penuh pada Tuhan secara terus menerus seumur hidup, kekudusan adalah usaha untuk mempersembahkan tubuh yang tidak dicemari oleh dosa (Roma 12:1-2), memiliki motivasi hidup hanya untuk kemuliaan Allah (1Kor 10:31), melakukan pelayanan tanpa mencuri kemuliaan Allah, menyatakan kasih dan kebaikan yang tulus tanpa pamrih. Kekudusan yang sempurna (sinlessness) hanya akan terjadi ketika Yesus Kristus datang untuk keduakalinya dan akan menyatakan kemuliaan-Nya (glorification) bagi umat-Nya (Roma 8:29-30; 1 Tes 4:16-17; 1Kor 15).
Yehovah Mekeddeshem
Istilah “Yehovah Mekeddeshem” banyak muncul dalam Perjanjian Lama yang menyatakan bahwa Allah adalah tokoh utama dalam pengudusan hidup orang percaya: “Demikianlah kamu harus berpegang pada ketetapan-Ku dan melakukannya; Akulah TUHAN yang menguduskan kamu” (Imamat 20:8). Allah memerintahkan agar semua orang Kristen hidup dalam dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya (Efesus 4:24). Hanya Tuhan yang berhak menyatakan seseorang kudus dan kekudusan itu sendiri tidak dapat dicapai tanpa pertolongan Allah. Sebuah sikap yang harus dicontoh yang tampak dalam diri Rasul Paulus: “…aku sendiri tidak menganggap, bahwa aku telah menangkapnya, tetapi ini yang kulakukan: aku melupakan apa yang telah dibelakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku.” (Fil 3:13).
Dengan demikian tidak ada orang Kristen yang boleh sombong jika ia hidup kudus sehingga merasa paling benar, merasa paling layak dekat Tuhan, paling akrab dengan Tuhan. Tujuan hidup kudus adalah untuk memuliakan Allah, bukan untuk kemuliaan diri manusia. Kekudusan sejati tidak pernah statis, kekudusan itu sendiri mewajibkan adanya ketaatan dan pertumbuhan terus-menerus, tidak cepat puas diri, tapi terus berusaha dan berjuang untuk menjadi semakin kudus (Ef. 4: 17-32; Kol. 3:1-10; 2Pet 1:1-9). Hidup kudus adalah perintah yang mutlak: “Allah memanggil kita bukan untuk melakukan apa yang cemar, melainkan apa yang kudus. Karena itu siapa yang menolak ini bukanlah menolak manusia, melainkan menolak Allah yang telah memberikan juga Roh-Nya yang kudus kepada kamu” (Ef. 4:7-8).
Kiranya Tuhan mengaruniakan kuasa dan belas kasihanNya untuk menolong kita agar senantiasa hidup dalam kekudusanNya. “Be ye holy, for I am Holy” (Lev 19:2).