Aku Harus Pergi

Waktu umur pernikahan kami menjelang lima tahun dan anak-anak sudah mulai sekolah,isteri saya banyak memberikan waktunya hanya kepada anak-anak.Kami tidak mempunyai pembantu,sehingga isteri saya sendiri bekerja ngepel lantai rumah,mencuci,seterika dll. Seringkali dia bekerja hingga larut malam. Badannya mulai kurus, tidak secantik dulu lagi dan setiap hari kelihatan capek. Suatu hari saya melihatnya sedang membersihkan tumpukan pakaian kotordi kamar mandi. Dahinya basah oleh cucuran keringat. Lalu aku pelan-pelan menghampirinya dan tiba-tiba aku peluk tubuhnya dan berkata: "Ma,biarkan aku membersihkan pakaian-pakaian kotor ini". Dia tersenyum, dan mempersilahkan saya meneruskan pekerjaan mencuci.

Begitulah saya membantunya pada saat-saat libur. Setiap saya membantunya senyumnya selalu menghiasi wajahnya. Aku turut senang dan bahagia. Tetapi suatu ketika saya kecewa berat dibuatnya. Kejadiannya pada suatu Minggu, setelah mencuci pakaian dan menjemurnya sampai kering. Karena saya merasa lelah,saya tiduran di sofa,dan dia langsung melihat hasil cucian saya. Tiba-tiba dia berteriak keras dan marah: "Pa, koq cuciannya masih kotor?",coba lihat nih, katanya sembari menunjukkan saku celana anakku. Ternyata memang masih ada ditemukan kotoran berupa pasir. Kesalahan saya saat itu, tidak membuka saku celananya. Ya, deh.. aku ngaku salah, jawabku kepada sang isteri. Dia mengambil semua pakaian yang sudah kering itu dan memasukkannya lagi ke ember untuk dicuci. "Mengapa semua mama ambil?" tanyaku !, Dia diam,dan sambil berjalan dia berkata: "kalau papa tidak dari hati mengerjakannya, biarlah mulai saat ini, papa tidak usah membantuku. "Biarkan saja saya yang mengerjakannya"

Mulai saat itu hubungan kami sebagai suami/isteri terganggu. Dalam hatiku, aku berkata:"Biar saja, aku bantu koq, gak diterima. Karena kesibukannya terus-menerus, sehingga perhatiannya terhadapku juga berkurang. Tadinya, kami biasa bersenda gurau, sudah tidak ada lagi canda. Mukanya yang tidak ceria membuatku  tidak  betah dirumah.Saya sengaja pulang dari kantor malam hari, agar langsung istirahat tidur. Setelah jam kerja usai, saya biasa curhat kepada teman satu kelasku dulu di Sumut. Dia seorang wanita yang butuh perhatian dari seorang pria. Wanita tersebut belum menikah karena tidak ada pria yang menaksirnya berhubung sebelah kakinya lumpuh sejak kecil. Keluarganya termasuk orang berada. She is chinese girl. Aku pernah minta tolong kepadanya untuk mengirimkan kue putu medan dan mika ambon ke rumahku. Alamat dan nomor telepon rumah juga kuberikan kepadanya. Nama temanku itu si "Ong Lie". Kami saling curhat tentang suka maupun duka. Dia benar-benar sahabat yang baik, dan selalu memberi solusi bila aku kesukaran.

"Bang", aku tadi sdh mengirimkan pesananmu ke alamatmu, katanya dalam teleponnya. Aku senang, dan hari itu aku bergegas pulang ke rumah. Sampai di rumah, aku melihat isteriku menangis di atas kursi. "Mengapa mama menangis?" tanyaku. Dia langsung berdiri, dan memarahiku, 

"Ternyata kamu punya simpanan isteri ya.!" Dia menuduhku. Bika ambon dan putu medan terletak di atas meja. Itu buktinya, kiriman dari isterimu yang di Medan. Dia menunjuk ke arah kiriman itu. Oh, itu yang bikin kamu marah toh? Mengapa isteriku menuduh demikian? Ternyata sebelum aku tiba Ong lie bertelepon ke rumah menanyakan kiriman tersebut apakah sudah sampai.Yang angkat telepon isteriku sendiri yang mengaku sebagai adikku. Pengakuan Ong lie sendiri kepada isteriku bahwa dia hanya sahabat, tetapi isteriku  tidak  percaya. 

"Saya harus pergi menemuinya" kata isteriku. Besoknya, pagi-pagi sekali, isteriku pergi ke Medan menemui Ong lie dengan pesawat Adam Air. Buru-buru aku hubungi Ong Lie, agar tidak kaget menghadapi isteriku nanti. "Katakan saja apa adanya tentang hubungan kita sebagai sahabat," kataku kepada Ong lie.

Isteriku sampai di Medan, dan langsung menuju alamat sebuah bangunan mewah, isteriku mengetok pintunya. Seorang gadis cacat mempersilahkan masuk. Isteriku mengira dia adalah pembantu di rumah mewah itu.

"Aku ingin bertemu dengan Ong lie," kata isteriku. "Ibu siapa?" tanya Ong lie. 
"Oh, Saya datang dari Jakarta, saya ingin bertemu dengan Ong lie," kata isteriku mendesak. 
"Sayalah yang bernama Ong Lie," kata sahabatku itu.

Isteriku tidak percaya mendengar jawabannnya. Setelah berkali-kali dikatakan, isteriku baru percaya dan menanyakan tentang hubungan kami.

"Bu, kami hanya sahabat biasa," kata Ong Lie. Isteriku baru yakin bahwa kami hanya sahabat biasa, dia bukan isteri gelapku. Begitulah seorang isteri, bila  tidak  mempercayai suaminya, akhirnya mengeluarkan biaya yg  tidak  sedikit untuk mencari kepastian. Seorang isteri bila tidak memperhatikan suaminya, maka suami bisa mencari teman yang dapat memperhatikannya. Untung suami pergi ke sahabatnya, bukan mencari jalan yang salah atau meninggalkan isterinya. Mulai saat itu isteriku mulai memperhatikanku dan kebahagiaan yang hilang seperti canda, senda gurau, pelukan. Kami raih kembali.

(Walsinur Silalahi)
←   →

VISIT NOW

111

Visitor

Flag Counter
 

Copyright © 2009 by Cerita Langit