Pernikahan siri masih menjadi perhatian khusus yang mengandung pro dan kontra. Benarkah pernikahan siri menguntungkan?
Perbedaan nikah siri dengan nikah pada umumnya adalah tidak dicatatnya surat nikah di Kantor Urusan Agama (KUA). Dalam konteks beberapa agama, pencatatan di KUA bukanlah syarat sah sebuah pernikahan. Masyarakat biasa menyebut pernikahan siri sebagai pernikahan “di bawah tangan”.
Berbagai alasan dikemukakan untuk menjadikan pernikahan siri sebagai jalan alternatif dalam menjalin hubungan berumahtangga. Pernikahan siri dianggap relatif mudah dan menguntungkan bagi mereka.
Wilayah pedesaan kerap kali menjadi tempat yang paling mudah melakukan nikah siri. Pertimbangan kondisi ekonomi dan kemiskinan menjadi alasan perempuan mau melakukan nikah siri. Hal ini diungkapkan oleh Konselor Yayasan Islamic Center for Democracy and Human Right Empowerment (ICDGRE) Pasuruan, Aprilia Mega Rosdiana yang aktif mendampingi perempuan pedesaan.
“Para perempuan miskin di pedesaan biasanya sering diiming-imingi materi untuk mau menjalani nikah siri,” ungkap Aprilia Mega Rosdiana, Sabtu (10/3).
Namun, kenyataan dan harapan bisa berbeda. Keuntungan yang mulanya menjadi harapan kini berubah menjadi malapetaka.
“Pernikahan siri yang terjadi di wilayah Kecamatan Rembang, Kabupaten Pasuruan lebih banyak merugikan kaum perempuan sekaligus menelantarkan anak keturunannya,” ungkap Aprilia Mega Rosdiana.
Pernyataan tersebut diamini oleh Fredick Dermawan Purba, Psikolog dan Dosen muda Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung.
“Biasanya lebih banyak ruginya dibandingkan keuntungannya. Kenapa? Karena dari segi legalitas ke depannya wanita yang akan repot,” ungkap Fredick, Senin (19/3).
Pernikahan siri yang tidak memiliki catatan hukum menjadi lemah posisinya dihadapan hukum. Bila suami melarikan diri, istri dan anak tidak mempunyai kekuatan hukum untuk menuntut hak-haknya.
“Mungkin secara agama memang menguntungkan, namun secara negara nikah siri belum menguntungkan,” katanya.