Presenter Metro TV Ralph Tampubolon berdebat dengan aparat gabungan Polres Jakarta Pusat, saat digelar razia simpatik di Jalan Senen Raya, Jakarta Pusat.
Dia ditilang lantaran Mobil Honda CRV yang dikemudikannya masuk jalur TransJakarta. Ralph sebelumnya sempat berdebat dengan polisi berpangkat Kompol yang memberhentikannya.
“Razia ini dilakukan untuk menertibkan pengendara yang berpelat palsu,” kata Kasubdid Penertiban Suku Dinas Perhubungan Jakarta Pusat, Sunardi Yaskur, Kamis (12/4/2012).
Sementara itu Kanit Laka Polres Jakarta Pusat AKP Antoni menjelaskan, polisi tetap profesional dalam menjalankan tugasnya, tak terkecuali wartawan yang melakukan pelanggaran lalu lintas.
” Iya dia (Ralph) tetap ditilang,” ujarnya kepada okezone.
Salut buat pak polantas yang bertindak tegas. Tidak pandang bulu.
Nah, berikut ini sejumlah kisah wartawan yang berurusan dengan polantas.
Kita mulai dengan kisah Pulang ke Kantor. Suatu hari seorang jurnalis muda kedapatan melanggar aturan lalu lintas jalan di sekitar jembatan Semanggi, Jakarta Selatan. Kasus pelanggaran yang persis dengan Markas Polda Metro Jaya itu, membuat saya tergelitik. Bagaimana tidak. Sang jurnalis saat ditilang mengaku wartawan. Tampaknya dia memohon kelonggaran dengan dalih hendak meliput berita.
Sang petugas tampaknya tak memercayai dia adalah jurnalis. Dimintanya identitas sang pelanggar itu. Entah merasa kurang kuat. Sang polantas meminta bukti bahwa dia adalah wartawan dengan menunjukkan koran tempatnya bekerja.
Singkat cerita, jurnalis muda tadi pun kembali ke kantornya. Dia mengambil koran. Tak sampai satu jam, dia kembali menemui sang polantas. Setelah menerima koran tadi, surat izin mengemudi (SIM) C milik sang wartawan dikembalikan. Persoalan selesai.
Kisah Uang Bensin Rp 5.000.
Cerita berawal dari serombongan wartawan yang hendak menikmati ikan bakar di kawasan Jakarta Utara. Rombongan mengendarai mobil jeep Jimny. Saat melintas di kawasan Jl Gajah Mada, Jakarta Pusat, malam itu mobil menerobos lampu merah karena menganggap sudah sepi. Tak ada kendaraan lain yang membahayakan jiwa. Tiba-tiba muncul mobil polantas.
Setelah meminta identitas dan surat-surat, terjadi tawar-menawar. Rombongan itu meminta kebijaksanaan polantas. Nah yang mengagetkan, tiba-tiba sang polantas berujar, “Ya sudah, tambahin buat uang bensin saja deh.” Seluruh wartawan yang ada di dalam Jimny terperangah. Entah bagaimana, salah satu wartawan mengeluarkan lembaran uang Rp 5.000. Dalam suasana gelap, ‘transaksi’ pun terjadi. Rombongan kembali jalan.
Kisah Gumpalan Rp 25 Ribu.
Kali ini seorang jurnalis muda sedang berkendara dengan keluarganya. Di ruas tol dalam kota Jakarta, sang jurnalis diberhentikan polantas. Tuduhannya, melanggar marka jalan. Surat-surat kendaraan dan SIM diperiksa. Tiba-tiba sang jurnalis ditawari jalan damai. Tentu saja jurnalis tadi agak gembira tak berurusan panjang ke pengadilan negeri (PN). Dia pun mencari-cari sejumlah uang dikantong celananya. Ketemulah dua lembar uang pecahan sepuluh ribu dan satu lembar lima ribu. Uang pun dilipat dan membentuk gumpalan kecil. Agar tak mencolok tangan sang jurnalis dikebelakangkan dan polantas menerima dari belakang. ”Sudah pak gak usah dibuka, itu Rp 25 ribu,” bisik sang jurnalis manakala ada gelagat polantas mau melirik berapa nilai uang itu. Ada-ada saja.
Kisah Kembali Rp 150 Ribu.
Dua orang wartawan hendak pulang kerja menuju rumahnya masing-masing. Mereka naik satu motor, sang pemboceng tidak memakai helm. Tiba-tiba di sekitar Jl MH Thamrin, Jakarta Pusat, keduanya diberhentikan petugas. Singkat cerita, sang pengendara menyerahkan uang Rp 50 ribu kepada petugas. Namun, saat penyerahan uang itu, jurnalis satunya lagi nakal. Dia memotret adegan penyerahan uang. Sontak sang petugas marah dan bertanya. Untuk apa difoto? Jurnalis berkata, untuk bahan berita, seraya berujar, sudahlah uang Rp 50 ribu rezeki untuk bapak.
Keduanya pun melanjutkan perjalanan. Tak berapa lama, sepeda motor mereka dihentikan oleh petugas yang mengejarnya. Sang petugas meminta agar foto itu tidak diberitakan. Terjadi debat di tengah dinihari yang dingin. Tiba-tiba sang petugas memberikan gumpalan uang ke tangan jurnalis. Seraya berujar jangan dimuat foto itu. Sang wartawan pun kembali melanjutkan perjalanan. Di tengah jalan, saat dibuka, lipatan uang itu berjumlah Rp 150 ribu. Hingga kini, foto itu tak pernah dimuat di koran.
Kisah Antre di Pengadilan Negeri. Adalah seorang jurnalis muda yang terpaksa berurusan dengan petugas. Kejadiannya di fly over Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Sepeda motor dilarang melintas. Sang jurnalis tak tahu larangan itu. Setelah terjadi adu argumen sesaat, sang jurnalis minta ditilang. Petugas pun memberinya slip merah yang berarti sang pelanggar harus ikut sidang di pengadilan negeri.
Singkat cerita, jurnalis tadi mengikuti sidang. Namun, kata dia, baru saja menjejakan kaki di pengadilan negeri, dia sudah ditawari untuk jalan pintas. Tidak perlu antre dan menunggu lama persidangan, bayar sejumlah uang, SIM yang ditahan bisa diambilkan. Sang jurnalis menolak. Dia ingin merasakan bagaimana proses persidangan. ”Hampir tiga jam menunggu, sidangnya gak lebih dari 15 menit,” cerita dia.
Sejak itu dia kapok melanggar aturan jalan. Menunggu jadwal sidang dan antrenya buang-buang waktu.
Itu sekelumit cerita tentang wartawan yang berurusan dengan petugas di jalan raya. Ada yang tidak patut ditiru, tapi kisah terakhir layak contoh. Jika melanggar aturan ya harus konsekuen ditilang dan mengikuti persidangan.
Sudah semestinya semua pihak menyadari pentingnya aturan di jalan. Menghargai tugas dan kewajiban masing-masing. Tidak ada yang kebal hukum. Mau nyaman? Ya antre dengan tertib. (edo rusyanto)