Sampai saat ini masyarakat kita masih beranggapan bahwa hakekat bekerja adalah menjadi karyawan. Karyawan adalah orang yang bekerja untuk suatu perusahaan, instansi, lembaga, yayasan dan sebagainya. Mereka itulah yang disebut sebagai pekerja.
Kenyataan yang mudah Anda jumpai dalam kehidupan sehari-hari adalah alumni perguruan tinggi belum akan disebut bekerja apabila ia belum mampu menunjukkan predikat dirinya sebagai karyawan. Pengertian bekerja menjadi identik dengan duduk di belakang meja pada suatu kantor, berseragam, memiliki jam kerja dan mendapat gaji tetap. Pemikiran tersebut bertahan sampai beberapa tahun lalu, bahkan mungkin saat ini.
Anggapan masyarakat yang demikian ini telah menimbulkan kerugian psikologis bagi golongan angkatan kerja pada umumnya. Pengertian bekerja menjadi sempit. Animo menjadi pegawai negeri tetap tinggi. Hal ini dapat dibuktikan pada beberapa lowongan pekerjaan di kantor-kantor Pemerintah. Pelamar selalu membludak. Demikian pula minat untuk bekerja di perusahaan-perusahaan swasta tidak berbeda jauh. Antrian pelamar kerja bukan hal aneh kita temui.
Orientasi semacam ini telah menciptakan banyak pengangguran dimana-mana di seluruh pelosok tanah air. Demikian juga ketidakseimbangan lowongan pekerjaan dengan jumlah tenaga kerja yang selalu bertambah setiap tahunnya telah menyebabkan kesulitan mencari pekerjaan. Lebih jauh lagi, pengangguran menyebabkan beragam masalah baru di kota dan di desa.
Sedangkan kemampuan anak muda berpikir untuk menciptakan pekerjaan sendiri selalu terbentur oleh bayang-bayang kerasnya perjuangan awal usaha, yaitu kegagalan. Kondisi kolaborasi bisnis yang tak kenal ampun, atas nama KKN, dan sikap mental individual turut membuat ciut nyali entrepreneur muda. Meski demikian, masih ada sebagian anak muda yang lebih suka berwirausaha daripada menjadi pekerja.
Bagaimana menurut Anda, apakah bekerja harus menjadi karyawan? Atau Anda memiliki pandangan tersendiri mengenai arti berkarya? Silakan berbagi di kolom komentar.
(agussiswoyo.com)