Tujuh puluh enam tahun lalu, Cleda dan Rosemond Frell Blair bersumpah tidak akan terpisahkan. Mereka menepati janjinya, bahkan saat kematian menjemput.
Hanya enam belas jam setelah Cleda, 95 tahun, menghembuskan napas terakhirnya di sebuah rumah pensiun Idaho, pekan lalu, sang suami Rosemond 94 tahun juga meninggal dunia.
"Mereka selalu bersama-sama," ujar putra pasangan itu, Boyd Blair, 68 tahun. "Keduanya tidak terpisahkan dalam hidup dan saya kira juga tidak dapat dipisahkan di tempat yang lebih baik."
Bertemu sebagai siswa sekolah menengah di Lewiston Utah, keduanya jatuh cinta dan memutuskan menikah. Kisah cinta mereka selamat dari Perang Dunia II, dan hingga memiliki 2 anak, 12 cucu dan 32 cicit.
Setelah PD II, Frell yang bekerja sebagai seorang mekanik membangun sebuah rumah di Idaho setelah kembali dari Kepulauan Pasifik pada tahun 1946. Beberapa tahun belakangan pasangan harmonis ini tinggal di komunitas pensiun agar lebih dekat dengan keluarga mereka.
Cleda menjalani perjuangan panjang melawan kanker payudara saat kesehatan sang suami menurun darstis. Putra mereka, Boyd, mengatakan sebelum ibunya meninggal, ayahnya memegang tangannya dan menangis. Beberapa jam kemudian, sang ayah pun menyusul.
Dalam obituari bersama untuk Cleda dan Frell, kerabat terdekat mengatakan, mereka menghormati hubungan pasangan Blair, bukan hanya dalam kematian tetapi juga dalam kehidupan. "Warisan mereka adalah cinta dan komitmen satu sama lain dan itulah yang akan paling diingat keluarga."
Fenomena ini juga terjadi pada pasangan yang menikah selama 65 tahun. Marjorie Landis meninggal dunia setelah menyerah pada penyakit yang menderanya. James, sang suami kemudian meninggal dunia dua jam kemudian karena serangan jantung. Keluarga percaya kematian James karena "patah hati".
Menjadi bagian dari romantisme turun temurun, sindroma patah hati baru-baru ini dibuktikan secara ilmiah. Sebuah laporan pada 2005 di New England Journal of Medicine menyebut fenomena cardiomyopathy stress, yaitu trauma jantung yang dipicu pelepasan hormon stres dengan cepat.
Dalam beberapa kasus, hormon stres yang dilepaskan 30 kali lipat pasien normal. Dr Ilan Wittstein mengatakan, "Menurut teori kami, saat trauma tubuh menghasilkan gelombang hormon stres dalam jumlah besar untuk berjuang atau menyerah, reaksi yang penting bagi kelangsungan hidup," ujar Wittenstein.
Bila diproduksi terlalu cepat, hormon ini bisa langsung menuju jantung dan merugikan otot jantung. Dari studi terhadap 250 pasien ditemukan 2 persen pasien mengalami sindroma patah hati. Studi terbaru juga menemukan, risiko kematian mendadak dalam 24 jam setelah kehilangan pasangan adalah 16 kali lebih tinggi dari biasanya.
(Viva)