Tak banyak pakar hukum di Indonesia yang secara khusus mendalami masalah pencucian uang (money laundering). Dari yang tak banyak itu, Dr Yenti Garnasih SH MH adalah salah satunya. Bahkan, dia disebut-sebut sebagai orang pertama yang meraih gelar doktor di bidang pencucian uang.
SIANG itu Jawa Pos (induk Jambi Independent) menemui Yenti di ruang kerjanya, di lantai 3 gedung Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta. Sehari-hari perempuan 52 tahun ini memang mengajar di kampus tersebut.
Ruang kerja Yenti tergolong sederhana. Ketika Jawa Pos berada di ruang seluas sekitar 2 x 3 meter itu, Yenti sedang berbincang dengan tiga pria. Tak berapa lama tiga pria itu pergi. “Mereka adalah penyidik dari Badan Narkotika Nasional (BNN),” kata Yenti ketika ditanya Jawa Pos. Setelah tiga tamunya pergi, dengan ramah Yenti mempersilahkan Jawa Pos masuk. “Mereka minta saya membantu polisi menangani kasus pencucian uang yang terkait dengan kejahatan narkoba,” papar Yenti. “Kalau kasus narkotika ini masuk pengadilan, bisa jadi ini kali pertama kasus narkotika bersanding dengan pidana pencucian uang,” tutur Yenti.
Pidana pencucian uang boleh dibilang hal yang baru bagi dunia hukum Indonesia. Namun, bagi Yenti, money laundering seperti sudah menjadi bagian dari hidupnya. Ini terlihat dari sejumlah buku diktat dan artikel tentang pidana pencucian uang yang hampir memenuhi ruang kerjanya.
Ternyata, masalah pidana pencucian uang ini merupakan bahan disertasi Yenti ketika menempuh pendidikan S-3 di Universitas Indonesia. Sejak saat itulah dia pun dijuluki sebagai Doktor Money Laundering pertama di Indonesia.
Nama Yenti pun semakin dikenal publik seiring dengan mencuatnya kasus mafia pajak dengan terdakwa utama Gayus Tambunan. Ini karena dia menjadi saksi ahli di persidangan kasus tersebut. Dalam sidang, ibu dua anak itu menyampaikan keterkaitan kasus Gayus dengan tindak pidana pencucian uang.
Yenti juga menjadi saksi ahli untuk kasus pencucian uang dengan terdakwa Bahasyim Assyifie (eks PNS di Direktorat Jenderal Pajak). Ketika memberikan kesaksian, Yenti mengusulkan akan dilakukan pembuktian terbalik. Usul Yenti pun dilaksanakan. Dengan demikian, untuk kali pertama pengadilan negeri di Indonesia berani menerapkan pembuktian terbalik terhadap terdakwa, Bahasyim Assyifie. Ini mengakibatkan aset dan kekayaan terdakwa dirampas. “Semoga pembuktian terbalik dalam kasus Bahasyim ini bisa menjadi preseden hukum yang bisa diterapkan di kasus Gayus dan kasus pencucian uang lainnya,” ujar perempuan berdarah Jogja-Sunda ini.
Sejak saat itu, Yenti “kebanjiran order” dari sejumlah media dan instansi yang memintanya menjadi pembicara maupun nara sumber. Setiap kali kasus Gayus maupun Bahasyim menjadi topik utama dalam sebuah acara atau program di layar kaca, Yenti hampir selalu hadir sebagai narasumber. “Sampai saya nggak enak, karena sering dimintai komentar oleh para wartawan,” ujarnya.
Perempuan kelahiran 11 Januari 1959 tersebut mengakui, tidak banyak orang yang meminati bidang pidana pencucian uang. Yenti memilih mendalami jenis pidana tersebut secara tidak sengaja.
Sebelum memutuskan melanjutkan kuliah di jurusan hukum, Yenti yang sejak remaja gemar dengan dunia seni memilih bersekolah di sebuah sekolah tinggi bahasa asing.
Mantan model dan penari itu juga sempat bekerja di sebuah yayasan pendidikan di Bandung. “Saya mengelola sejumlah taman kanak-kanak,” katanya.
Ketertarikan untuk memasuki dunia hukum timbul ketika dia kerap melewati sebuah sekolah hukum saat berangkat menuju yayasan tempatnya bekerja. Dari situ anak pertama dari enam bersaudara itu akhirnya memutuskan menekuni bidang hukum dengan bersekolah di Universitas Pakuan Bogor.
Bukannya jenuh, Yenti justru makin tertarik dengan seluk-beluk dunia hukum. Lulus kuliah, Yenti menjadi asisten dosen di Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta.
Tak ingin mandek, perempuan yang gemar tampil modis dan feminin tersebut meneruskan studi S-2 di Universitas Indonesia (UI) dengan beasiswa dari universitas tempatnya mengajar pada 1993.
Ketika menjalani masa perkuliahan di UI, Yenti tidak menyia-nyiakan setiap kesempatan yang ada. Dia bergabung dengan sejumlah komunitas hukum serta rajin mengikuti acara-acara di kampusnya. Yenti pun kerap diajak menghadiri konferensi internasional, seperti konferensi tingkat tinggi Crime Prevention and Treatment of Offenders di beberapa negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dia pernah mengunjungi Mesir, Austria, hingga Italia.
Sebagai delegasi termuda, saat itu Yenti kerap diminta mengikuti sidang komisi PBB yang tergolong baru atau kurang “terkenal” di mata para seniornya. Istri Brigjen TNI Bambang Prasetyo tersebut selalu kebagian sidang komisi pidana pencucian uang. “Waktu itu belum kepikiran, saya malah kayaknya ‘dibuang’. Udah kamu kan masih baru, kamu ikut sidang komisi pencucian uang aja,” kata Yenti menirukan ucapan para seniornya kala itu. (Sekadar informasi, dunia internasional telah mengundangkan pencucian uang sejak meratifikasi Convention for Narcotics and Psychotropics Substancies PBB pada 1986).
Saking seringnya mengikuti sidang komisi pidana pencucian uang, Yenti mulai tertarik. Dia berpikir, seandainya negaranya memiliki undang-undang pencucian uang, berbagai macam kejahatan, khususnya kejahatan korupsi, bisa diberantas sampai tuntas. “Saya mulai menyenangi jenis pidana ini. Saya berpikir kapan negara kita ada seperti ini. Ini adalah something new dan saya punya keyakinan one day negara saya harus punya UU pencucian uang,” kenang putri pasangan Soe Pantho dan Nany Suyani itu.
Pemikiran tentang UU pencucian uang terus menjadi perhatian Yenti. Setelah menyelesaikan program studi S-2 pada 1995, putri mantan bupati Purworejo tersebut pun langsung melanjutkan pendidikan S-3 di UI.
Ketika tiba saat menyusun disertasi, promotornya, Prof Erman Radjagukguk, menyarankan Yenti memilih pencucian uang sebagai bahan disertasi. “Mungkin sudah jalannya di situ, berkat saran Prof Erman, saya mantap membuat disertasi tentang pencucian uang. Kebetulan saya juga sudah mempelajari soal pencucian uang sejak lama,” katanya.
Itu bukan pilihan gampang. Apalagi, kajian mengenai tindak pidana pencucian uang di Indonesia sangat sedikit. Untuk itu, setelah menyelesaikan kuliah teori pada 1999 di UI, Yenti pun bertolak ke negeri Paman Sam demi melakukan studi pustaka di Washington University terkait dengan kejahatan pencucian uang. Dia memilih Amerika sebagai negara tujuan kajian literatur, karena negara tersebut merupakan yang pertama di dunia yang memiliki undang-undang pencucian uang. Demi menyelesaikan disertasinya, Yenti harus rela berpisah dari keluarga dan teman-temannya selama setahun.
Di Amerika Yenti mempelajari 600 jurnal tentang pencucian uang. Dia juga mempelajari 250 putusan pengadilan tentang pencucian uang. Selain mempelajari praktek pencucian uang di Amerika, perempuan yang juga rajin berolahraga itu mendalami penyebab kegagalan negara tersebut dalam menerapkan hukuman terhadap pelaku kejahatan pencucian uang.
Pada 2000, Yenti kembali ke Indonesia dengan memboyong ratusan jurnal tentang pencucian uang tersebut. Dia pun berhasil mempertahankan disertasinya bertajuk “Kriminalisasi Pencucian Uang” di hadapan dewan penguji. Dia juga berhasil menyelesaikan program doktoral sekaligus mendapat sebutan Doktor Pencucian Uang pertama di Indonesia.