Seorang gadis Kristen berusia 13 tahun dari Bhubaneswar, India, diperkosa oleh 6 laki-laki di Raikia, Kandhamal, pada 27 Oktober 2012. Gadis yang masih duduk di bangku kelas 7 itu sedang berlibur di rumah pamannya di Raikia. Pada malam hari 27 Oktober, 6 orang laki-laki tak dikenal menculik gadis itu di sebuah pasar saat ia sedang menyaksikan ritual Dussehra (festival umat Hindu), dan membawanya ke hutan untuk diperkosa. Dini harinya setelah diperkosa, gadis malang itu dibawa kembali ke pasar tempat mereka menculiknya.
"Mereka menyiram air pada wajah saya agar saya sadar dari pingsan, lalu menyeret dan memaksa saya berjalan kira-kira setengah jam lamanya, kembali ke pasar itu. Mereka juga memakaikan saya kaus dan celana karena baju saya rusak tercabik-cabik, ungkap gadis itu pada Open Doors. Ketika kerabat dekat gadis itu menemukannya, mereka segera menelepon orang tua gadis itu yang langsung datang menjemputnya pulang ke Bhubaneswar.
Keluarganya, yang tadinya berasal dari Desa Ritangia di Tiangia, pindah ke Bhubaneswar beberapa waktu lalu karena ayahnya bertugas sebagai penjaga keamanan. Dia mengalami shock selama beberapa hari, lalu pada 31 Oktober akhirnya ia sanggup menceritakan pada kami mengenai pemerkosaan itu, ujar ayahnya pada Open Doors. Ketika keluarga gadis itu melaporkan pemerkosaan ini pada pihak yang berwajib, mereka menerima penolakan dari kepolisian setempat. Kemudian, gadis itu dibawa ke kantor Komisi Perlindungan Anak, lembaga yang seharusnya membela dan membantunya tetapi malah menganiayanya secara mental. Petugas sosial yang ditemui keluarga gadis itu di sana dengan kasar dan tak sabaran mengatakan, kasus ini adalah wewenang kepolisian, dan tidak ada yang dapat ia lakukan sekalipun ia mempercayai cerita gadis itu, kata Dr. John Dayal, seorang aktivis HAM terkemuka.
Keluarga gadis itu juga mendatangi penjara wanita dengan harapan memperoleh bantuan hukum, tetapi orang-orang di sana justru mengolok-olok gadis itu dan menolaknya. Dr. Dayal melanjutkan, Di kantor polisi khusus wanita, segala laporan kasus pidana dengan korban wanita di lingkungan yang aman terhadap kejahatan hanya akan diabaikan oleh pihak yang berwenang. Ketika Inspektur Polisi Iti Das datang menemui keluarga korban, ia bersikap kasar, bahkan sangat tidak pantas. Menurut seorang pekerja sosial wanita yang menemani gadis itu di kantor polisi, inspektur polisi wanita tersebut berkata kalau memang benar kamu diperkosa beramai-ramai oleh 6 orang laki-laki, seharusnya kamu sudah mati.
Mereka menyangka gadis malang itu berbohong, ia bukan diculik melainkan pergi bersama para pelaku pemerkosaan atas kemauannya sendiri. ujar Dr. Dayal. Gadis malang itu baru dibawa ke rumah sakit untuk divisum setelah orang-orang dari LSM HAM mengambil alih kasus ini pada tanggal 3 November dan melaporkan kasusnya. Para aktifis HAM yang menolong gadis itu dalam terapi dan konseling mengatakan, Ia masih dalam keadaan syok ketika pertama kali mereka menemuinya. Para aktifis HAM juga mengutuk ketua Komisi Perlindungan Anak, petugas sosial, dan Inspektur Polisi wanita itu atas perlakuan mereka terhadap sang korban yang masih anak-anak, dan dalam kondisi tertekan, jelas Dr. John Dayal.
Peristiwa Sebelumnya
Tragedi ini bukanlah yang pertama kali bagi gadis-gadis Kristen, karena mereka telah menjadi sasaran dan korban dari kejahatan yang berakar pada kebencian. Terlebih dari itu, protes mereka terhadap pelanggaran hak asasi manusia pada pemerintah dan pihak yang berwenang justru berbalik dengan hasil yang mengecewakan. Pada 11 September 2012, dua gadis, salah satunya adalah remaja dengan kebutuhan khusus, berusia 17 dan 15 tahun dari desa Gudruguda, Kandhamal, diserang oleh 2 laki-laki ketika sedang mengumpulkan kayu bakar di hutan dekat desa tersebut. Kedua pelaku memperkosa salah satu korban, gadis dengan kebutuhan khusus, sementara gadis lainnya berusaha melarikan diri dan berteriak minta tolong.
Seorang gembala yang sedang berada dekat lokasi kejadian mendengar teriakan korban lalu datang untuk menolong mereka. Para pelaku serentak melarikan diri ketika gembala itu sampai di lokasi kejadian. Kedua gadis itu dibawa pulang dengan kondisi syok, lalu menceritakan peristiwa tersebut pada ibu mereka yang telah menjanda sejak beberapa tahun lalu. Ayah mereka telah meninggal dan kakak laki-laki mereka telah menikah dan tinggal di luar kota.
Awalnya, polisi yang bertugas saat itu menolak berkas-berkas laporan pengaduan kasus ini. Setelah pihak keluarga korban yang didukung oleh para penduduk setempat mengadukannya pada Komandan Polisi, barulah investigasi dilakukan dan berkas-berkas diterima. Laporan pengaduan kasus ini diterima tanggal 13 September 2012 di kantor polisi setempat, tetapi karena para pemerkosa masih bersaudara dekat dengan pihak yang berwenang, mereka dibebaskan seketika dari tuduhan, ujar seorang pemimpin Kristen setempat.
Keesokan harinya, penduduk setempat yang memprotes ketidakadilan ini, justru mendapatkan perlakuan buruk dari para polisi yang bertugas. Situasi baru dapat dikendalikan saat Komandan Polisi turun tangan mengatasi kericuhan yang terjadi. Ketika diwawancarai Open Doors, seorang pemimpin Kristen berkata, Segera setelah mendengar tentang kasus ini, kerabat dekat pelaku, bersama kelompok Kui Samaj (kelompok etnis yang membenci orang-orang Kristen), menebang beberapa pohon besar dekat Hutan Tdahupanga. Kemudian, mereka membuat laporan palsu dan mencantumkan nama-nama kesembilan warga desa yang memprotes kepolisian terkait kasus pemerkosaan sebagai pelaku dari penebangan hutan tersebut.
Mereka mengatakan pada kesembilan warga desa itu, agar menyerah saja dan menarik tuntutan atas kasus pemerkosaan, barulah tuntutan penebangan hutan atas mereka ditarik, katanya. Sementara itu, anggota kelompok Kui Samaj terus mengancam akan menyiksa keluarga korban pemerkoasaan bila mereka tetap mengajukan tuntutan lebih lanjut.Akhirnya tanggal 18 September, pihak yang berwenang memanggil kedua pihak yang bertikai dan mendamaikan mereka. Karena ketakutan, kesembilan warga tersebut serta keluarga korban perkosaan menyetujui upaya pendamaian dengan para pelaku dan kelompok etnis. Tetapi tentu saja ini tidak menguntungkan mereka, kata pemimpin Kristen itu lebih lanjut. Saat ini kedua korban dipaksa membungkam diri dan tidak diberikan keadilan. Gadis yang berkebutuhan khusus itu menangis setiap hari, tanpa henti, tetapi tidak sanggup mengatakan apa pun. Tidak ada yang dapat membela mereka kecuali ibu dan kakak laki-laki mereka, yang hanya bekerja sebagai buruh harian, lanjutnya.
Ketika diwawancarai Open Doors, ibu kedua gadis korban perkosaan itu berkata, Warga desa yang tadinya membela kami berkata, karena kami telah berkompromi dengan mereka, maka kami harus menganggap kasus ini telah selesai. Kami tidak diperkenankan meninggalkan desa. Kami hanyalah orang-orang miskin; tidak ada orang yang mau menolong kami. Kami tidak bisa melawan mereka. Kami harus tetap tinggal di desa ini. Jika kami membuka kembali kasus ini dan mengajukan tuntutan, maka habislah riwayat kami. Jadi, kami memilih untuk melupakan saja semua ini, dan biarlah Tuhan yang akan menghakimi mereka.
(Opendoorsindonesia)