Buat para suami, jika istri dan mertua tidak akur siapakah yang harus dibela? Beberapa orang menjawab, istri yang harus dibela. Beberapa lainnya menjawab ibu yang harus dibela. Banyak juga yang berkata bahwa tidak ada yang harus dibela, kedua wanita itu adalah orang yang paling penting dalam kehidupan seorang pria.
Ya, kita berharap, seorang suami tidak pernah ada dalam pilihan sulit tersebut. Namun, kenyataannya dalam budaya apapun seringkali terjadi perselisihan antra istri dan mertua. Ini adalah kenyataan yang harus dihadapi bukan untuk dihindari.
Bagaimana mengatasi masalah yang sangat lumrah kita jumpai dalam kehidupan kita sehari-hari ini dengan bijaksana? Seorang pria tidak perlu menyakiti satu dari wanita yang telah ditempatkan Tuhan untuk menjadikannya seorang manusia yang utuh.
1. Buka Mata Lebar-Lebar
Ketika saya bertanya, “Jika Mami kamu tidak setuju kita menikah, apa kamu akan tetap menikahi saya?” (Mami adalah orangtua tunggal suami saya). Suami saya menjawab, “Tidak”. Ini tentu adalah jawaban yang membuat saya shock. Kemana perginya kekuatan cinta? Bukankan pernikahan adalah untuk kita bukan untuk orangtua kita?
Sekarang saya mengerti, bahwa pendirian suami saya adalah yang paling bijaksana bagi seseorang yang sedang mencari calon istri. Buka mata lebar-lebar, demikian kita sering dinasihati orangtua sebelum mencari calon pasangan hidup. Doakan pilihan Anda dan biar Tuhan bekerja. Semua yang datang dari Tuhan akan mendatangkan damai sejahtera, termasuk dari calon mertua.
Saya sangat bangga dengan sikap calon mertua saya, yang dulu sangat ‘picky’ dalam menyeleksi menantu. Banyak yang kecewa karena tidak terpilih dan menganggap itu keterlaluan. Tapi saya rasa mereka salah kaprah, karena selama tujuh tahun pernikahan kami, mertua saya tidak pernah masuk campur urusan rumah tangga kami. Seakan-akan, tugasnya sebagai seorang ibu dalam kehidupan rumah tangga anaknya berakhir pada waktu kami mengikrarkan janji sebagai suami istri. Selanjutnya, beliau menjadi teman yang senantiasa mendukung rumah tangga baru yang kami bina.
2. Hormati Komitmen Anda
Suami dan istri bukan lagi dua, namun mereka telah menjadi satu daging. Apa yang telah lebur menjadi satu dalam ikatan perjanjian di hadapan Tuhan tidak bisa dicampurkan lagi oleh unsur lainnya (aka keluarga). Dalam hal ini campuran yang telah menyatu tersebut tidaklah murni. Dan semua yang tidak murni mudah membusuk. Konflik antara ibu dan istri yang berkelanjutan akan menjadikan rumah tangga lebih rentan.
Inilah yang menyebabkan banyak rumah tangga retak dan menjadikan perceraian sebagai solusi. Perceraian meninggalkan luka di hati keduanya, belum lagi masalah yang harus dihadapi oleh anak-anak mereka. Pilihan ini adalah loose-loose solution, dalam arti tidak ada yang diuntungkan kecuali sang mastermind dari seluruh kekacauan di dunia ini : Satan.
Oleh karena itu, para kaum pria hormati komitmen yang telah Anda buat di hadapan Tuhan. Ikatan suami dan istri di bawah ‘ikatan perjanjian’ lebih kuat daripada ikatannya dengan saudara sekandung karena “Darah lebih kental dari susu”.
Hormati komitmen yang telah Anda buat dengan sekuat tenaga. Menghormati sesuatu atau seseorang bukan berarti kita merendahkan yang lainnya. Demikian juga suami yang menghormati ikatan perjanjiannya bukan berarti ia merendahkan ikatan tali persaudaraannya. Menghormati justru akan menciptakan keseimbangan. Menghormati bukanlah favoritisme yang berdasakan pada alasan-alasan yang tidak solid. Menghormati menuntut kerendahan hati. Dan dimana ada kerendahan hati di sana ada jalan keluar (Mazmur 25:9).
3. Keluar Dari Rumah OrangTua
Berikutnya, “For the goodness sake, move out from your parents’ house!”
Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging. (Kejadian 2:24).
Ini berarti sebelum berencana untuk menikah sebaiknya pasangan sudah bisa mandiri sehingga tidak bergantung pada orangtua terutama dalam hal mencukupi kehidupan sehari-hari. Jika baik pria maupun wanita masih bergantung pada orangtua untuk menafkahi mereka, jangan berharap konflik rumah tangga akan diselesaikan dengan mudahnya. Konsekuensinya jika ada masalah akan melibatkan banyak orang sehingga membuatnya semakin rumit untuk diselesaikan. Seringkali orangtua yang merasa anaknya belum mandiri, otomatis akan memperlakukannya sebagai anak yang belum dewasa meskipun mereka telah menikah.
4. Berpikiran Dewasa
Sebagai orangtua kebahagiaan anak-anak saya merupakan kebahagiaan saya. Demikian juga kesusahan mereka adalah kesusahan saya. Seorang ibu yang menyaksikan bahwa rumah tangga anaknya harmonis dan bahagia tidak akan merepotkan diri untuk mencampuri urusan mereka. Mengatasi masalah suami istri dengan bijaksana akan membawa kedamaian bagi semua pihak.
Seorang pria seharusnya dapat menunjukkan bahwa ia telah dewasa dalam mengambil keputusan. Hindarkan diri untuk bertanya kepada ibu apa warna cat rumah atau jenis tehel apa yang paling baik. Biarkan hal-hal ini diputuskan bersama antara suami istri. Jangan pula meminta ibu Anda untuk mengajari istri Anda memasak atau membenahi rumah. Ini hanya akan membuat istri Anda merasa tidak berharga dan membuat ibu Anda merasa berkuasa. Terima istri Anda apa adanya dan terima perbedaan-perbedaannya dengan ibu Anda.
Jika terjadi perbedaan pendapat antara suami istri yang berakhir dengan pertengkaran, adalah tidak dewasa untuk mengadu kepada orangtua. Demikian juga istri jangan berkata, “Pulangkan saja aku ke rumah orangtuaku”. Biarlah apa yang terjadi di balik pintu tertutup tetap berada di sana. Orangtua yang mengetahui rumah tangga anaknya tidak harmonis akan merasa bersalah dan menuntunnya untuk masuk campur.
Jadi, adalah penting bagi suami dan istri untuk selalu bersikap dewasa dan saling menghargai. Diskusikan hal-hal utama dengan pasangan dan jagalah rahasia rumah tangga baik-baik.
5. Bangun Iman Anda
Terakhir, meskipun hubungan suami istri adalah satu daging yang tidak terpisahkan, masih ada pribadi yang lebih penting dari keduanya, Dialah Tuhan.
Jawab Yesus kepadanya: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama (Matius 22:37-38).
Mengasihi Tuhan dengan sepenuh hati memudahkan kita untuk mengasihi sesama. Memiliki iman dan bertumbuh di dalamnya membuat cinta dua sejoli ikut bertumbuh. Ketika masalah timbul dalam rumah tangga mereka cenderung mencari Tuhan bukan mencari kesalahan pasangannya.
Orang yang takut akan Tuhan, menjaga dirinya untuk tidak menyakiti orang lain termasuk pasangan hidupnya. Mendahulukan kehendak Tuhan dalam segala hal mendatangkan sukacita dan damai sejahtera. Sebab Tuhan tidak menghendaki kekacauan melainkan damai sejahtera (1 Korintus 14:33).
Penulis adalah seorang konselor profesional dan juga penulis buku "Turning Hurt Into Hope" (Metanoia 2009).