Berbahagialah orang yang mendapat hikmat, orang yang memperoleh kepandaian, karena keuntungannya melebihi keuntungan perak dan hasilnya melebihi emas. Ia lebih berharga daripada permata; apapun yang kau inginkan, tidak dapat menyamainya. Umur panjang ada di tangan kanannya, di tangan kirinya kekayaan dan kehormatan. Jalannya adalah jalan penuh bahagia, segala jalannya sejahtera semata-mata. Ia menjadi pohon kehidupan bagi orang yang memegangnya, siapa yang berpegang padanya akan disebut berbahagia.
Ir. Ciputra. Siapa yang tak mengenal nama ini. Pengusaha di bidang properti yang sukses dan telah memberi andil bagi bangsa. Bukan itu saja, dia sosok yang sangat peduli akan keadaan bangsa. Karena itulah ia tergerak untuk membangun bangsa dengan membangun rumah tinggal dan tempat hiburan. Selain itu, ia juga mendirikan sekolah-sekolah. Tepatnya sejak 40 tahun lalu. Menurutnya pendidikan adalah cara yang efektif untuk meningkatkan harkat dan kesejahteraan seseorang, keluarga dan sekelompok masyarakat.
Bapak yang akrab disapa Pak Ci ini sendiri mengalami keampuhan pendidikan dalam kehidupannya. Bila orang melihatnya sukses sekarang, itu karena perjuangan kerasnya semasa muda. Perihnya hidup pernah ia alami. Namun ia tak mau menyerah. Dengan mengandalkan Tuhan, akhirnya Pak Ci pun berhasil menjemput sukses. Meski cukup berat perjuangnnya. Semua itu dianggapnya sebagai proses kehidupan yang mengajarkannya akan arti kehidupan dan sukses.
Masa Kecil yang Tak Terlupakan
Ir. Ciputra lahir di kota kecili Parigi, Sulawesi Tengah pada tanggal 24 Agustus 1931 dengan nama Tjie Tjin Hoan. Ia anak ke-3 dari pasangan Sim Poe dan Lie Eng Nio. Keluarganya memiliki usaha toko klontong di Bumbulan, sekitar 150 km dari Gorontalo. Pada usia 12 tahun, ayahnya ditangkap Jepang karena dituduh mata-mata Belanda. Sejak saat itu, dia dan keluarganya tidak pernah tahu lagi keberadaan ayahnya. Bahkan letak kuburnya pun tidak diketahui.
Sejak ayahnya ditangkap, perekonomian keluarga terganggu. Ia mengalami kesulitan hidup. Akibatnya, ia terlambat bersekolah. Usia 12 tahun ia masuk kelas 3 SD dan baru lulus pada usia 16 tahun. Meski demikian, Ciputra muda tidak patah semangat. Ia bertekad untuk melanjutkan sekolah, bahkan ia bertekad meninggalkan kampung halaman demi masa depan yang lebih baik, bebas dari kemiskinan dan kemelaratan. Karena itu ia rela berjalan 14 km tiap hari untuk ke sekolah. Tiap hari ia harus bangun pukul 05.00 wib, berlari ke sekolah dan baru tiba pukul 14.00 wib dengan perut lapar.
Keadaan tersebut akan lebih berat lagi bila musim hujan tiba. Ciputra kecil yang hanya memiliki sedikit baju dan tidak punya sepatu ataupun sandal ini harus menerjang hujan dengan berpayung daun pisang. Agar bajunya tetap kering, ia harus membuka dan membungkusnya dengan daun woku (semacam daun palem yang besar). Di hari Minggu ia gunakan untuk berburu babi dan rusa. Pengalam itulah (lari dan berburu) yang akhirnya menghantar Ciputra terpilih sebagai atlet Sulawesi Utara untuk lomba lari 800 meter dan 1500 meter di PON II di Jakarta. Tepatnya ketika ia duduk di bangku SMA.
Belajar dan Bekerja
Lulus SMA Pak Ci memutuskan untuk melanjutkan kuliah di Bandung. Berbekal uang yang pas-pasan, ia masuk sebagai mahasiswa di Institut Tehnik Bandung (ITB). Tingkat dua ia memutuskan untuk menikahi kekasihinya, Dian Sumeler. Suatu keputusan yang cukup berani bagi Ciputra. Pasalnya, disaat ia membutuhk dana untuk kuliah, ia malah menikah. Itu berarti tanggungannya bertambah. Justru keadaan itu dijadikan pecut baginya. Sehingga ia berusaha untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Bersama temannya (Budi Brasali dan Ismail Sofyan) ia mendirikan PT Perentjana Djaja. Ia juga bekerja di perusahaan kontraktor.
Bagi Ciputra, belajar dan bekerja merupakan ajang hidupnya. Ia harus tetap bertahan hidup namun ia juga perlu pendidikan. Seperti kata Charles handy, filusuf Inggris, “Belajarlah seperti orang bekerja dan bekerjalah seperti orang belajar”, demikian Ciputra menjalani hidupnya. Hingga kini bagi pemiliki PT Ciputra Grup adalah dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Dan keduanya tidak dapat dipensiunkan dari hidupnya. Tak heran di usia yang ke-78 tahun ini, Pak Ci masih bersemangat untuk mengembangkan usaha dan bisnisnya. Ia masih rajin ke kantor untuk berdiskusi dan memecahkan masalah.
Menciptakan lapangan kerja, berbisnis merupakan kesenangan Ir.Ciputra. Mengembangkan industri real estate memang menjadi keahliannya. Ia penggagas sekaligus ketua pertama REI (Real Estate Indonesia). Selain itu ia juga ikut mendirikan Federasi Real Estate Asia Pasific. Asosiasi ini bergabung dengan FIABCI (Federal Real Estate Dunia). Tahun 1994-1996, Ir.Ciputra orang Indonesia pertama yang terpilih menjadi presiden FIABCI.
God Has More In Store
Kerusuhan Mei 1998 telah membukakan mata rohani Pak Ci. Dulu sebelum Tuhan mengijinkannya mengalami kebangkrutan, ke gereja hanya dilakukan sebagai rutinitas. Bahkan seringkali ia lupa ke gereja atau ikut ibadah namun tidak konsentrasi lantaran terserang ngantuk. Namun, setelah kerusuhan membuatnya bangkrut ia justru dekat Tuhan dan rindu melayani. Perubahan tersebut tidak hanya sementara. Sejak kerusuhan tahun 1998 hingga kini Pak Ci aktif dibeberapa pelayanan.
Bukan hanya di pelayanan, di dunia kerja pun sosok Pak Ci berubah. Ia lebih sabar, ramah dan penuh pengertian kepada para stafnya. Jika dulu ia mengandalkan kekuatan dan kepandaiannya, mediao ’98 telah menyadarkannya akan arti Tuhan dalam hidup. Ia tetap menjadi sosok pekerja keras, bedanya saat ini ia lebih mengandalakan Tuhan.
“Saya pernah mengalami gagal, namun saya tidak berhenti pada kegagalan. Saya bangkit dengan cara bersandar pda Tuhan. Pada krisis ekonomi tahun ’98 lalu, saya banyak hutang. Selain karena kerusushan, saya melakukan kesalahan dalam strategi bisnis. Saya berdoa dan meminta kreditur memberi keringanan. Puji Tuhan, mereka dapat mengerti. Dan saya pun bisa melewati cobaan tersebut. Tuhan memnag ajaib,” ungkap Pak Ci. (Kristin/dbs)