Sekelompok warga Protestan Filipina menggugat mantan Presiden Gloria Arroyo, terkait pembunuhan terhadap setidaknya enam anggota gereja yang diduga dilakukan pasukan keamanan saat Arroyo berkuasa.
Menurut washingtonpost.com, Kamis (16/6), Sekretaris Jenderal United Church of Christ in Philippines, Pendeta Reuel N.O. Marigza, menyatakan banyak pendeta dan jemaat Protestan yang dipermalukan, ditangkap, dan disiksa, karena dituding sebagai musuh negara oleh rezim Arroyo. Hingga kini belum ada rehabilitasi nama bagi para anggota gereja tersebut yang dituduh makar. Pihak Arroyo yang kini menjadi senator tak bersedia mengomentari gugatan itu.
Arroyo sendiri kini tengah diselidiki atas desakan Pengacara Gregorio Narvasa dan Sigfrid Fortun, yang merupakan anggota tim pembela klan Ampatuan, klan yang mengalami pembantaian massal pada rezim Arroyo yang mendesak agar pengadilan menghadirkan Arroyo. Nama Arroyo disebut-sebut setelah aksi pembantaian yang menewaskan sekitar 57 orang di Maguindanao pada 2009. Sebanyak 37 korban tewas itu adalah wartawan.
Arroyo, yang kini menjadi anggota parlemen dari Pampanga, disebut-sebut memiliki kedekatan dengan klan Ampatuan. Media massa di sana melansir sejumlah foto tatkala Presiden Arroyo makan bersama saat melawat ke keluarga tersebut.
Ketika dewan perwakilan rakyat, aparat keamanan ataupun media tidak bisa lagi menjadi jembatan aspirasi yang mewakili ketertindasan masyarakat, gereja wajib hadir ditengah mereka menjadi decision maker dan social control untuk menyuarakan seluruh pergumulan rakyat terutama jemaat yang ditindas.
Source : washington.post/DPT