Cahyo Alkantana bisa dibilang adalah sosok yang sukses menggabungkan kesenangan dan pendapatan, plus menjadi "penyelamat" lingkungan Gunung Kidul beserta masyarakatnya.
Memiliki hobi bertualang sejak kecil, membuat pria kelahiran 8 Juli 1966 ini aktif di kegiatan pencinta alam saat menjadi mahasiswa jurusan arsitektur di Fakultas Teknik, Universitas Atmajaya, Yogyakarta. Hobinya ini semakin tersalurkan ketika pada 1989, Cahyo berkesempatan menjadi pendamping tim peneliti Operation Wallacea di Kepulauan Wakatobi. Pekerjaannya ini dilakoninya selama delapan tahun dan menjadi pintu sukses baginya. Karena di sinilah, pria ini berkesempatan bertemu para ahli dari beragam ilmu, baik ahli pembuatan film dokumenter ataupun ilmuwan kelautan.
Dari mereka inilah, Cahyo mendalami ilmu dokumenter. Ia pun mendapat beasiswa dari S-1 hingga S-3 di Inggris. Cahyo mengambil jurusan ilmu kelautan karena terinspirasi dari para pembuat film dokumenter profesional yang ia temui. Ia mendapat pelajaran bahwa sineas yang baik harus memiliki ilmu pendukung agar menghasilkan karya yang maksimal.
Pernah merasakan kehidupan di berbagai negara di dunia, tak lantas membuat Cahyo Alkantana melupakan tanah airnya. Ia justru kembali ke Yogyakarta, tepatnya ke Gunung Kidul dan menemukan surga tersembunyi di sana. Karena merasa prihatin dengan kondisi tanah dan lingkungan di wilayah itu padahal di sana memiliki potensi alam bawah tanah yang tiada bandingannya, Cahyo pun bertekad bulat untuk menyelamatkannya. Ia mengembangkan kawasan wisata Gunung Kidul dengan konsep ekoturisme.
Modal awal pengembangan ekoturisme ini adalah dana sebesar tiga miliar, empat hektar tanah, dan kecintaan yang tak terukur. Lalu, Cahyo membangun sebuah resor di sekitar Luweng Jomblang Grubug, yang diberi nama Jombang Resort. Resort ini berbasis masyarakat, artinya penduduk desa sekitar dan karang taruna ikut terlibat dalam hal pengelolaan. Itu berarti penduduk di sekitar bisa mendapat penghasilan dan lingkungan sekitar juga bisa terselamatkan.
Mungkin yang menjadi pertanyaan adalah, dari manakah Presiden Federasi Speleologi Indonesia ini mendapatkan modal dana sebesar itu? Semuanya dari dana pribadi. Begitu kembali dari menimba ilmu di negeri orang, Cahyo mendirikan production house bernama Indonesia Explorer. Lewat PH itu, ia mengumpulkan berbagai stock shot yang kemudian dijualnya kepada sebuah perusahaan penyuplai gambar film di Bristol, Inggris. Pembeli film tersebut berani membayar hingga US$500 per menit. "Harga tersebut bisa naik 10 hingga 20 kali lipat jika gambarnya disukai konsumen," jelas Cahyo. Nah, uang yang berhasil dikumpulkan dari penjualan gambar itulah yang akhirnya digunakan Cahyo sebagai modal awal pengembangan wisata berkonsep ekoturisme itu. Bisa dikatakan, pria yang memiliki anak dua ini melakukan segala sesuatunya dengan hati. Meskipun pada awalnya, tindakan Cahyo ini ditentang langsung oleh sang istri yang berkebangsaan Prancis.
Selain mengembangkan Jomblang Resort, Cahyo juga mengembangkan wisata minat khusus di Kalisuci. Kegiatan utama di Kalisuci adalah cave tubing, yaitu perjalanan menyusuri gua yang di tengahnya mengalir sungai jernih dan berwarna kebiruan. Pengalamannya selama bertahun-tahun berpetualang di alam bebas, membuat Cahyo dipercaya Kompas TV untuk menggarap sebuah program berjudul Teroka.
Misi terbaru yang ingin dicapainya adalah membuat sistem irigasi dengan cara mengalirkan air dari air terjun yang terletak di dalam gua ke tanah-tanah pertanian dan perkebunan warga. Dengan tujuan agar masyarakat Gunung Kidul bisa bercocok tanam selama 12 bulan, bukannya hanya 6 bulan yang selama ini terjadi (karena faktor musim kemarau sehingga tanah menjadi kering akibat jarangnya hujan turun).
Sungguh mulia perbuatan dan niat yang dimiliki seorang Cahyo Alkantana. Semoga kisah ini bisa menginspirasi lebih banyak orang untuk berbuat hal yang sama, mungkin dengan skala yang berbeda.