Kitab terakhir Perjanjian Lama kita adalah Kitab Maleakhi, tetapi menurut Tanakh Ibrani, kitab terakhir adalah Kitab Tawarikh.
Kitab Maleakhi ditulis sekitar tahun 430-420 sebelum Masehi (SM), sedangkan Kitab Tawarikh diperkirakan ditulis antara tahun 400-340SM. Selang waktu 340 SM sampai pada kelahiran Yesus Kristus sering diistilahkan dengan "THE SILENT AGES" yaitu zaman dimana Allah "berhenti berfirman". Sedangkan Kitab tertua Perjanjian Baru diperkirakan adalah Injil Markus ditulis sekitar tahun 40 Masehi, jadi perkiraan selang waktu penulisan antara Perjanjian Lama dan Baru adalah 380 tahun.
-----
Kerajaan Persia menguasai Asia Barat mengakhiri cerita Perjanjian Lama. Nama raja terakhir ditulis dengan Darius, orang Persia - baik Darius II (423 - 404 sebelum Masehi) atau Darius III (336 - 331 sebelum Masehi) raja Persia yang terakhir.
Jika kita membuka Perjanjian Baru, maka ada suatu penguasa dunia yang lain yang menguasai Timur Dekat sehingga dengan sendirinya mencakup seluruh daerah di sekitar Laut Tengah. Lukas menghubungkan kelahiran Yesus dengan perintah Kaisar Agustus, kaisar Romawi pertama (27 sebelum Masehi - 14 Masehi) yang menyuruh mendaftarkan semua orang di seluruh dunia dan mentarikhkan pelayanan Yohanes Pembaptis dalam tahun kelima belas dari pemerintahan Kaisar Tiberius (14 - 37 Masehi), yaitu pengganti Kaisar Agustus.
Hukuman mati atas Yesus dijatuhkan oleh hakim Romawi dan pelaksanaan hukuman mati dilaksanakan dalam bentuk pelaksanaan Romawi. Seorang warga Romawi memberitakan berita Kristen ini dengan cara yang hebat ke kawasan Laut Tengah dan Perjanjian Baru berakhir dengan kuasa Roma mengancam membinasakan gereja yang malahan telah ditetapkan untuk dikalahkan olehnya.
Antara masa raja Persia terakhir dan pengukuhan kehadiran Roma di Timur Tengah, wilayah ini dikuasai oleh rezim Yunani - Makedonia dari Alexander Yang Agung dan para penerusnya. Rezim ini disinggung secara apokaliptis dalam Daniel dan dalam satu atau dua kitab Perjanjian Lama lainnya namun kitab-kitab apokrip sedikit sekali menceritakan pemegang pemerintahan Yunani-Makedonia, kecuali mengenai zaman singkat abad kedua sebelum Masehi, yang diuraikan oleh kitab-kitab Makabe. Sekalipun demikian, tanpa memiliki beberapa pengetahuan tentang latar belakang dari zaman antar-perjanjian ini, Perjanjian Baru kurang dapat dimengerti secara wajar.
Penaklukan Kerajaan Persia oleh Alexander Yang Agung (331 sebelum Masehi) tidak membawa perubahan konstitusional, baik terhadap Samaria maupun Yudea. Saat itu propinsi-propinsi tersebut diperintah oleh wakil-wakil pemerintah Yunani-Makedonia menggantikan para wakil pemerintah Persia terdahulu dan upeti harus dibayar kepada tuan yang baru sebagai pengganti tuan yang lama. Yahudi perantauan yang tersebar di bawah Kerajaan Persia, sejak dari Susa hingga ke Siena dan Sardis, kini mendapat pusat baru, Alexandria dan Kirene.
Pengaruh kebudayaan Yunani tidak dapat dihindari, tanda-tanda kehadirannya mulai tampak di tengah-tengah mereka. Pengaruh-pengaruh Helenistis dalam beberapa hal dianggap baik, terlebih-lebih pada keadaan antara orang Yahudi yang berbahasa Yunani dari Alexandria. Mereka mengharuskan penerjemahan Pentateukh dan kitab-kitab Perjanjian Lama lainnya ke dalam bahasa Yunani pada abad ketiga dan kedua sebelum Masehi sehingga pengetahuan tentang Allah Israel dapat dimiliki oleh dunia kafir.
Di lain pihak ada kecenderungan meniru corak-corak kebudayaan Helenistis, yang tidak terelakkan bercampur dengan roh kekafiran dan yang dengan jalan-jalan lain juga mengaburkan perbedaan antara umat khas YHVH dengan para tetangga mereka. Sampai sejauh mana suatu keluarga Yahudi berkedudukan tinggi dapat melakukan percampuran, tanpa diganggu nuraninya dengan segi-segi hidup yang tidak layah di bawah pemerintahan Helenistis, dilukiskan oleh Yosefus dalam berita tentang keuntungan-keuntungan Tobia, yang memperkaya diri sebagai pemungut cukai, pertama untuk kepentingan kaum Ptolomeus dan kemudian untuk kepentingan kaum Seleukus.
Di antara dinasti yang mewarisi kerajaan Alexandria. Ada dua yang khusus mempengaruhi sejarah Israel yaitu dinasti Ptolomeus di Mesir dan dinasti Seleukus yang menguasai Siria dan daerah-daerah seberang Efrat. Sejak tahun 323 - 198 sebelum Masehi, pemerintahan Ptolomeus meliputi kawasan dari Mesir dan Asia hingga pegunungan Libanon dan pantai Finisia, termasuk Yudea dan Samaria. Pada tahun 198 sebelum Masehi, kemenangan Seleukus di Panion, di dekat sumber-sumber sungai Yordan, mengharuskan Yudea dan Samaria membayar upeti kepada Antiokh, sebagai ganti Alexandria.
Kekalahan raja dinasty Seleukus, Antiokhus III, atas bangsa Romawi di Magnesia tahun 190 sebelum Masehi serta uang tebusan berat sebagai bebannya mengakibatkan peningkatan pajak yang amat besar atas rakyatnya, termasuk bangsa Yahudi. Ketika anaknya, Antiokhus IV, berusaha memperbaiki keadaan dengan memaksakan kekuasan atas Mesir (pada dua pertempuran tahun 169 dan 168 sebelum Masehi), bangsa Romawi memaksa dia melepaskan ambisinya itu.
Yudea, bagian barat daya kerajaannya, menjadi kawasan strategis yang penting, dan ia merasa ada sebab mendalam untuk mencurigai loyalitas rakyat Yahudi. Berdasarkan nasehat dari para penasehat yang tidak bijaksana, ia mengambil keputusan meniadakan kebangsaan dan keagamaan mereka yang berbeda dengan yang lain-lain. Puncak politik ini berupa penetapan suatu ibadat kafir - penyembahan kepada dewa Zeus Olimpios (secara sindiran diubah oleh orang-orang Yahudi menjadi kebengisan pembinasaan) - di dalam Bait Allah di Yerusalem bulan Desember 167 sebelum Masehi. Bait Suci Samaria di Gerizim juga diubah menjadi tempat penyembahan Zeus Xenios.
Banyak orang Yahudi yang saleh, yang pada zaman itu memilih mati martir daripada membuang agama. Yang lain mengangkat senjata menentang penjajahan kaum Seleukus.
Di antara gologan terakhir ini terdapat keluarga imam dari kaum Hasmonia, yang dikepalai oleh Matatias dan kelima anaknya. Di antara kelima anak itu, ada seorang yang amat menonjol, yaitu Yudas Makabe, yang dilahirkan untuk menjadi pemimpin. Ia juga menonjol dalam perang gerilya. Kemenangan-kemenangannya yang pertama atas bala tentara raja, menjadikan banyak bangsanya di bawah pimpinannya, termasuk sejumlah besar orang saleh di Israel, para hasidim, berpendapat bahwa perlawanan pasif tidak cukup menghadapi ancaman keberadaan kebangsaan dan keagamaan mereka masa itu.
Raja mengirimkan lagi tentara yang lebih besar untuk memerangi mereka, tetapi tentara ini diobrak-abrik oleh siasat tak terduga dari Yudas dan pasukannya. Raja menjadi jelas bahwa politiknya tidak mengenai sasaran. Yudas pun diminta mengirimkan duta-duta ke Antiokhia guna merundingkan syarat-syarat damai. Antiokhius memiliki rencana-rencana militer untuk menaklukkan kembali daerah-daerah yang memisahkan diri di bagian timur kerajaannya, maka cukup menting baginya memperoleh kepastian di perbatasan dengan Mesir.
Syarat-syarat pokok bagi Yahudi sudah tentu peniadaan secara tuntas larangan pelaksanaan tugas-tugas keagamaan Yahudi. Ini dikabulkan, sehingga orang Yahudi bebas melaksanakan kewajiban agama leluhur mereka. Konsesi ini segera diikuti dengan penyucian Bait Allah dari kultus berhala yang diadakan disitu, serta penggunaan tempat suci itu bagi ibadat kepada Allah Israel. Penggunaan kembali Bait Allah pada akhir tahun 164 sebelum Masehi mungkin tidak termasuk dalam rumusan-rumusan perdamaian, tetapi hal itu agaknya diterima sebagai suatu yang harus diterima. Sejak itu saat penggunaan bait Allah diperingati pada hari raya Hanukkah.
Yudas dan saudara-saudara serta pengikut-pengikutnya tidak puas dengan kemenangan dalam kebebasan beragama itu. Sesudah memperoleh kemenangan-kemenangan dengan kekuatan senjata, mereka meneruskan perjuangan untuk mendapatkan kemenangan atas kemerdekaan politik. Peresmian penggunaan Bait Allah diikuti dengan memperkuat pertahanan bukit Bait Allah, yang menghadap ke bentang atau Akra yang dikuasai oleh markas tentara kerajaan. Yudas mengirim pasukan bersenjata ke Galilea, Trans-Yordania dan bagian-bagian lain tempat ada masyarakat Yahudi terpencil serta mengembalikan mereka ke wilayah-wilayah aman di daerah Yudea yang telah dikuasai oleh tentaranya.
Pemerintah Seleukus tidak dapat membiarkan tindakan-tindakan permusuhan demikian. Karena itu tentara-tentara lain dikerahkan memerangi Yudas. Yudas gugur dalam pertempuran pada musim semi tahun 160 sebelum Masehi, danuntuk sementara waktu perjuangan yang dipimpinnya nampaknya tidak mempunyai harapan lagi. Peristiwa-peristiwa ini menguntungkan penggantinya terlebih-lebih setelah kematian Antiokhus IV pada tahun 163 sebelum Masehi diikuti oleh perang saudara yang berganti-ganti di kerajaan Seleukus untuk waktu yang lama, yaitu perebutan kekuasaan antara para saingan yang saling menuntut takhta kerajaan dan pengikut-pengikut mereka masing-masing.
Yonatan, saudara Yudas yang menggantinya sebagai pemimpin pihak pemberontak, menyembunyikan diri menunggu waktu yang baik, dan sesudah itu dengan perbuatan-perbuatan diplomatis, dia memperoleh kemenangan dan kemajuan yang menakjubkan. Pada tahun 152 sebelum Masehi, Alexander Balas, yang menuntut takhta dinasti Seleukus atas dasar yang tidak kuat yaitu bahwa ia adalah anak Antiokhus IV, memberi kuasa kepada Yonatan untuk mempertahankan kekuatan militernya di Yudea dan mengakui Yonatan sebagai imam besar Yahudi, sebagai imbalan atas janji Yonatan membantu perjuangannya.
Antiokhus IV mulai campur tangan dalam agama Yahudi yang akhirnya menimbulkan pemberontakan kaum Hasmonia, karena ia memecat imam besar yang sah dari keturunan Zadok dan menempatkan imam-imam besar lain atas pertimbangannya sendiri. Ia berani melawan kebiasaan yang lama. Seorang kaum Hasmonia menerima jabatan imam besar dari seseorang yang gelarnya untuk memberikan jabatan itu didasarkan atas tuntutannya sebagai anak dan pengganti Antiokhus IV.
Golongan orang saleh yang membantu keturunan Hasmonia pada saat kebebasan beragama dapat diterima kembali, merasa puas ketika tujuan itu tercapai. Namun situasi semakin bertambah kritis dengan adanya ambisi kaum Hasmonia atas pemerintahan. Tidak ada segi ambisi-ambisi Hasmonia yang lebih menyusahkan kereka kecuali ambisi memegang jabatan imam besar. Beberapa dari antara mereka menolak mengakui imam besar kecuali dari keturunan Zadok, dan menjauhkan diri dari ibadat di Bait Allah, jika tidak di bawah pengawasan imam yang sah. Mereka pergi ke padang pasir Yudea dan membentuk masyarakat Qumran. Mereka dipandang sebagai salah satu golongan Essen yang bermacam-macam pada zaman itu. Satu cabang dari keturunan Zadok diperkenankan mendirikan tempat suci Yahudi di Leontopolis di Mesir. Tempat suci ini berfungsi dalam pelayanan imam besar di sana. Namun tempat suci di luar tanah Israel tidak didukung oleh para hasidim yang menghormati Hukum Taurat.
Pada tahun 143 sebelum Masehi Yonatan masuk perangkap dan dibunuh oleh salah seorang lawan saingan yamg menuntut kerajaan dinasti Seleukus. Ia digantioleh saudaranya Simon. Di bawah pimpinan Simon, orang Yahudi mendapat kemerdekaan yang sempurna dari belenggu-belenggu kafir. Kemerdekaan ini diberikan dalam sebuah putusan raja Demetrius II dari dinasti Seleukus pada bulan Mei tahun 142 sebelum Masehi. Dengan demikian orang Yahudi dibebaskan dari kewajiban membayar upeti.
Simon memperkokoh kemenangan diplomatis ini dengan menaklukkan benteng di Gazara (Geser) dan bentang di Yerusalem, pusat kekuasaan dinasti Seleukus yang terakhir. Demetrius mulai berperang dengan bangsa Parti, sehingga ia tidak dapat berbuat apa-apa terhadap Siman, sekalipun jika seandainya ia ingin berbuat demikian. Simon mendapat tanda penghormatan dari sesama Yahudi yang berterima kasih atas kebebasan dan perdamaian yang mereka peroleh. Dalam suatu sidang majelis rakyat Yahudi, September 140 sebelum Masehi, diambil keputusan bahwa Ia akan diangkap sebagai bupati, kepala bangsa, panglima tentara dan imam besar turun temurun. Ketiga macam kekuasaan ini ia berikan kepada keturunan dan penggantinya.
Simon dibunuh di Yerikho pada tahun 135 sebelum Masehi oleh menantinya, Ptolomeus, anak Abubus, yang berharap mendapat kekuasaan tertinggi di Yudea. Tetapi anak Simon, Yohanes Hirkanus, mematahkan rencana pembunuh itu dan meneguhkan kedudukannya sebagai pengganti bapaknya.
Raja dinasti Seleukus, Antiokhus VII, yang berusaha meneguhkan kembali kekuasaan atas Yudea pada tahun-tahun terakhir pemerintahan Simon, berhasil memaksa Yohanes Hirkanus membayar upeti kepadanya untuk beberapa tahun selama permulaan pemerintahannya. Tetapi kematian Antiokhus VII dalam pertempuran dengan bangsa Parti tahun 129 sebelum Masehi mengakhiri pemerintahan dinasti Seleukus atas Yudea untuk selama-lamanya.
Pada tahun ketujuh pemerintahan Yohanes Hirkanus, status kemerdekaan Yudea dengan kuat diteguhkan yaitu 40 tahun sesudah Antiokhus IV meniadakan konstitusi lama sebagai negara tempat suci otonom di dalam kerajaannya. Darma bakti para hasidim, bakat kemiliteran Yudas dan kenegarawanan Simon, bersamaan denganperpecahan dan kelemahan yang bertambah-tambah dalam pemerintahan dinasti Seleukus, memberi kemenangan lebih banyak kepada Yahudi (dinilai secara lahiriah) daripada mereka yang telah kehilangan karena Antiokhus IV. Maka tidak mengherankan bahwa tahun-tahun pertama kemerdekaan Yohanes Hirkanus itu dipandang sebagai zaman emas.
Pemecahan yang menentukan di antara bagian terbesar para hasidim dan keluarga Hasmonia itu terjadi pada zaman Yohanes Hirkanus. Yohanes dihina, karena orang saleh itu menolak Yohanes terus menjabat jabatan imam besar. Mereka melepaskan diri daripadanya. Sejak waktu itu dan seterusnya mereka tampil dalam sejarah sebagai golongan Farisi, sekalipun belum pasti bahwa sebutan mereka itu (Ibrani perasim = orang-orang yang terpisah) disebabkan peristiwa, bahwa mereka memisahkan diri dari persekutuan dengan keturunan Hasmonia, seperti sering diduga. Sebutan itu agaknya lebih dikarenakan sikap mereka, yang menghindari persekutuan dengan orang-orang yang tidak mengikuti ketaatan mereka terhadap hukum pensucian dan persembahan persepuluhan. Mereka tetap menentang rezim itu selama 50 tahun. Para pemimpin agama yang mendukung rezim itu dan yang menduduki kebangsaan muncul kira-kira pada waktu yang sama dengan sebutan Saduki. Dalam Perjanjian Baru, keluarga imam besar yang kaya termasuk golongan Saduki.
Yohanes Hirkanus memanfaatkan kelemahan kerajaan dinasti Seleukus yang makin bertambah-tambah itu untuk memperluas kuasanya sendiri. Salah satu tindakan yang paling dahulu sesudah ia meneguhkan kemerdekaan bangsa Yahudi, ialah memasuki kawasan Samaria dan menaklukkan kota Samaria yang bertahan satu tahun, tapi kemudian diserbu dan diruntuhkan.
Sikhem juga ditaklukkan dan tempat suci Samaria yang memisahkan diri di bukit Gerizim, yang didirikan menjelang akhir kerajaan Persia, dihancurkan. Orang Samaria minta bantuan raja dinasti Seleukus, tapi bangsa Romawi memperingatkan dia supaya jangan campur tangan. Kaum Hasmonia pada tahap pertama dalam perangnya telah membuat perjanjian persekutuan dengan bangsa Romawi, yang tidak pernah kehilangan kesempatan untuk melemahkan dan menghina dinasti Seleukus dan sekarang perjanjian itu diperbaharui oleh Yohanes.
Di sebelah selatan kerajaannya, Yohanes berperang melawan bangsa Idumea, menaklukkan dan memaksa mereka menerima sunat dan memeluk agama Yahudi. Ia menaklukkan kota-kota Yunani di Trans-Yordania dan memasuki Galilea.
Pekerjaan di Galilea diteruskan oleh anak dan penggantinya, Aristobulus I (104-103 sebelum Masehi), yang memaksa masyarakat Galilea yang ditaklukkan untuk menerima agama Yahudi, seperti yang dilakukan ayahnya terhadap bangsa Idumea.
Menurut Yosefus, Aristobulus mengambil gelar raja sebagai ganti bupati dan memakai mahkota menjadi tanda kedudukannya sebagai raja. Tentu dengan cara ini ia berharap mendapat nama yang lebih besar di antara tetangga yang kafir.
Aristobulus mati sesudah memerintah satu tahun dan diganti oleh saudaranya, Alexander Yaneus (103 - 76 sebelum Masehi), yang kawin dengan janda Aristobulus, Salome Alexandra. Tidak ada seorang imam besar yang dapat digambarkan begitu tidak layak seperti Yaneus. Pada kesempatan-kesempatan upacara agung, ia memang mengikuti gerak-gerak pelayanan yang suci itu, tapi caranya melakukan adalah dengan sengaja merendahkan perasaan-perasaan banyak orang bawahan yang salah (terlebih-lebih Farisi). Ambisi pokok pemerintahannya adalah kemenangan militer. Kemenangan politik ini mengundangan banyak penentangan terhadapnya, tapi menjelang akhir pemerintahan, ia praktis telah menguasai seluruh kawasan yang pernah menjadi kawasan Israel pada zaman kebesaran sejarah bangsa, dengan pengorbanan secara mendalam terhadap segala yang berharga dalam warisan rohani bangsanya.
Kota-kota Yunani di pantai Laut Tengah dan di Trans-Yordania menjadi target khusus bagi serangan-serangannya. Satu demi satu kota-kota itu dikepung dan ditaklukkan. Perusakannya yang tanpa ampun menunjukkan betapa sedikit ia menghargai nilai-nilai hakiki keadaan Helenis. Ia menyesuaikan cara hidupnya dengan cara hidup bangsawan Helenis yang kasar dari Asia Barat.
Rasa tidak senang terhadapnya dari banyak rakyat Yahudi mencapai puncak sedemikian rupa sehingga ketika ia menderita kekalahan yang menghancurkan dari tangan kekuasaan orang-orang Nabati di Trans-Yordania tahun 94 sebelum Masehi, mereka memberontak, bahkan minta pertolongan raja dari dinasti Seleukus, Demetrius III. Namun rakyat Yahudi lainnya, meskipun tidak menyukai Yaneus, berpendapat bahwa minta pertolongan raja dinasti Seleukus untuk memberontak terhadap keluarga Hasmonia, adalah keterlaluan terhadap rasa kebangsaan mereka. Dengan sukarela mereka membantu membela kasus raja yang terjepit itu, memaksa raja mengusir kaum Seleukus. Kebuasan pembalasan yang dilakukan Yaneus terhadap para pemimpin pemberontakan - termasuk beberapa Farisi terkemuka - dikenang sebagai keganasan untuk waktu yang amat lama.
Yaneus mewariskan kerajaannya kepada jandanya, Salome Alexandra, yang memerintah sebagai ratu selama 9 tahun. Ratu Salome memberi jabatan imam besar kepada anaknya yang lebih tua, Hirkanus II. Satu hal penting yang dilakukan oleh ratu ialah ia mengubah politik orang-orang pendahulunya. Ia merangkul Farisi dan memperhatikan nasehat mereka selama pemerintahannya.
Kematiannya di tahun 67 sebelum Masehi diikuti perang saudara antara para pendukung tuntutan-tuntutan kedua anaknya, Hirkanus II dan Aristobulus II, untuk mewarisi kekuasaan tertinggi di Yudea. Aristobulus berjiwa Hasmonia, berambisi dan agresif. Hirkamus tidak berarti, mudah diperalat pendukung tuntutannya demi kepentingan mereka sendiri. Di antara para pendukung itu, terdapat soerang yang paling menonjol yaitu Antipater, orang Idumea, yang ayahnya menjabat bupati di Idumea pada masa pemerintahan Yaneus.
Persaingan antar kedua saudara dan para pengikut masing-masing itu dihentikan oleh orang Romawi pada tahun 63 sebelum Masehi, yang berakibat kemerdekaan Yunani yang singkat di bawah keluarga Hasmonia berakhir.
Pada tahun 66 sebelum Masehi, senat Romawi dan rakyatnye mengutus panglima perang yang paling ulung di masa itu, Pompeus, untuk mengakhiri perang yang telah 20 tahun lamanya antara mereka dengan Mitridates, raja wilayah Pontius. Raja ini telah mendirikan suatu kerajaan bagi dirinya di Asia Barat, kerajaan yang dirampas dari tanah-tanah jajahan keturunan Seleukus dan dari negara-negara tetangganya. Pompeus mengalahkan Mitridates yang lari ke Krimea dan bunuh diri di sana. Setelah Pompeus melakukan hal itu, ia dihadapkan dengan situasi, harus mengatur hidup politik di Asia Barat. Pada tahun 64 sebelum Masehi, ia menggabungkan Siria sebagai propinsi Romawi, dan ia diundang oleh bermacam-macam golongan di negara Yahudi untuk campur-tangan dalam kasus mereka, dan mengakhiri perang saudara antara kedua anak Yaneus.
Karena perhitungan Antipater yang licik, golongan yang mendukung Hirkanus bersedia bekerja sama dengan orang Romawi, dan Yerusalem membuka pintu bagi Pompeus pada musim semi tahun 63 sebelum Masehi. Bait Allah, yang diperkuat secara terpisah dan berada di tangan pengikut Aristobulus, bertahan terhadap kepungan selama tiga bulan, sebelum jatuh ke tangan tentara Pompeus.
Yudea harus membayar upeti kepada Roma. Ia kehilangan kota-kota Yunani yang telah ditaklukkan serta digabungkan kepada Yudea oleh raja-raja kaum Hasmonia. Orang Samaria dibebaskan dari pengawasan Yudea. Hirkanus diteguhkan menduduki jabatan imam besar dan kepemimpinan bangsa. Ia harus puas dengan gelar bupati, sebag orang Romawi menolak mengakui dia sebagai raja. Antipater tetap mendukung dia, tetap memutuskan untuk mengambil keuntungan dari perubahan keadaan yang baru bagi kepentingan sendiri, yang sebagian besar bertindih tepat dengan kepentingan Yudea.
Aristobulus dan keluarganya berkali-kali berusaha membangkitkan pemberontakan terhadap Roma untuk meastikan mereka kekuasaan atas Yudea. Tetapi untuk beberapa tahun usaha-usaha ini gagal. Secara berganti-ganti para bupati Romawi memerintah dengan tangan besi atas Yudea dan Samaria, karena propinsi-propinsi ini berada di tapal batas sebelah timur kekaisaran Romawi, yang membatasinya dengan saingannya, kerajaan Parti.
Kepentingan strategis kawasan ini dapat dilihat dari banyaknya tokoh penting dalam sejarah Romawi yang mengambil bagian dalam sejarah Yudea pada tahun-tahun itu: Pompeus yang menggabungkannya ke dalam kekaisaran; Krasus, sebagai bupati Siria pada tahun 54-53 sebelum Masehi, merampok Bait Allah di Yerusalem dan kuil-kuil di Siria, ketika ia mencari biaya perang melawan bangsa Parti, tetapi kemudian dikalahkan dan dibunuh oleh mereka di Karre pada tahun 53 sebelum Masehi; Julius Caesar, yang menguasai dunia Romawi sesudah mengalahkan Pompeus di Farsalus, Tesali, pada tahun 43 sebelum Masehi; Antonius, yang menguasai propinsi-propinsi kekaisaran di sebelah timur, sesudah ia dan Oktavianus mengalahkan pembunuh kaisar dan pengikut-pengikut mereka di Filipi pada tahun 32 sebelum Masehi; dan sesudah itu Octavianus sendiri, yang pada tahun 31 sebelum Masehi di Aktisium mengalahkan antonius dan Cleopatra (yang memegang pemerintahan terakhir dari kerajaan Ptolomeus di Mesir) dan sesudah itu (27 sebelum Masehi) memerintah dunia Romawi sendirian sebagai Kaisar Agustus.
Sepanjang seluruh perang saudara antara Romawi dan perang di luar Roma, Antipater dan keluarga menentukan politiknya untuk membantu wakil kuasa utama Romawi di sebelah timur pada setiap saat, siapapun orangnya dan tergolong kelompok yang manapun dia di negara Romawi. Terlebih-lebih Julius Caesar mempunyai alasan untuk berterima kasih atas bantuan Antipater, ketika ia dikepung di Alexandria selama musim dingin tahun 48-47 sebelum Masehi. Karena itu ia memberi hak-hak istimewa, bukan hanya kepada Antipater sendiri, tetapi juga kepada orang Yahudi.
Kepercayaan, yang orang-orang romawi belajar memberikan kepada keluarga Antipater, dijelmakan secara menyolok pada tahun 40 sebelum Masehi, ketika bangsa Parti memasuki Siria dan Palestina dan menjadikan Antigonus, anak terakhir Aristobulus II, dapat bangkit kembali dan menerima takhta kaum Hasmonia serta memerintah sebagai raja dan imam besar Yahudi. Hirkanus II menderita telinganya dipotong untuk menghindarkannya berfungsi lagi sebagai imam besar. Antipater sudah mati, namun suatu usaha dilakukan untuk menangkap dan membasmi keluarganya. Seorang anak, Fasael, ditangkap dan dibunuh, tapi "Herodes" selama tiga bulan, memastikan Herodes untuk menghadapi kebencian dari rakyat yang baru. Tidak ada usaha Herodes satupun yang dapat mengubah sikap rakyat itu. Antigonus dikirim terbelenggu kepada Antonius, yang memerintahkannya untuk dijatuhi hukuman mati. Herodes berusaha mengesahkan kedudukannya di mata Yahudi dengan mengawini Mariane, putri keturunan Hasmonia, namun perkawinan ini memberi lebih banyak kesukaran dibandingkan pertolongan.
Kedudukan Herodes berbahaya sekali pada enam tahun pertama pemerintahannya. Sekalipun Antonius adalah teman dan tuannya, Cleopatra ingin sekali memasukkan Yudea ke dalam kerajaannya, seperti telah dilakukan oleh para leluhurnya dari dinasti Ptolomeus. Ia mencoba mengambil keuntungan dari wewenangnya atas Antonius untuk keperluan ini.
Penggulingan Antonius dan Cleopatra pada tahun 31 sebelum Masehi, dan peneguhan Herodes dalam kerajaannya oleh pemenang, Octavianus, membawa kelegaan untuknya di luar negeri, tetapi kedalam dalam negeri tidak ada, baik dalam keluarga maupun dalam hubungan dengan bangsa Yahudi. Ia memerintah Yudea dengan tangan besi, dengan melayani kepentingan Roma, bahkan lebih baik daripada seorang bupati Romawi dapat melakukannya. Ia menaklukkan pemberontakan secara kejam.
Sebagai kenangan nyata dari pemerintahannya, ia meninggalkan kota-kota yang baru, umpamanya Sebaste (di tempat kota Samaria yang kuno) dan Kaisarea (sebuah kota bandar dengan pelabuhan buatan di pantai Laut Tengah) dan bangunan-bangunan besar. Dari bangunan-bangunan itu yang paling menonjol ialah Bait Allah di Yerusalem yang diperbaharui dan diperluas.
Ketika Herodes mati pada tahun 4 sebelum Masehi, kerajaannya dibagi di antara ketiga anaknya yang masih hidup. Arkhelaus memerintah Yudea dan Samaria sebagai bupati sampai tahun 6 Masehi; Antipas memerintah Galilea dan Perea sebagai raja seperempat negeri hingga tahun 39 Masehi; Filipus menerima kawasan pemerintahan di bagian timur dan timur laut Danau Galilea, yang telah didamaikan oleh ayahnya demi kepentingan kekaisaran, dan memerintah hingga kematiannya pada tahun 34.
Antipas (Raja Herodes yang disebut dalam cerita Injil) mewarisi ketajaman pandangan politik ayahnya, dan meneruskan tugas yang tidak mengenal pembalasan jasa untuk memajukan kepentingan Roma di Galilea dan Perea serta kawasan-kawasan sekitarnya. Arkhelaus memiliki seluruh kekerasan ayahnya tanpa keahliannya. Segera ia membawa rakyat kepada puncak di mana mereka minta kepada pemerintah Romawi untuk menggantinya, supaya dapat dihindarkan pecah suatu pemberontakan. Karena itu Arkhelaus diberhentikan dan dibuang, dan daerah pemerintahannya disusun kembali sebagai suatu propinsi Romawi tingkat tiga. Supaya upeti tahunan kepada perbendaharaan penjajah dapat ditentukan, maka wali negeri Siria, Kirenius, mengadakan pendaftaran penduduk di Yudea dan Samaria. Pendaftaran penduduk ini membangkitkan pemberontakan Yudas, orang Galilea. Pemberontakan itu ditindas, namun cita-citanya hidup di tengah-tengah golongan Zelot yang berpendapat bahwa pembayaran upeti kepada kaisar atau kepada pemerintah kafir lainnya, adalah perbuatan pengkhianatan terhadap Allah Israel. Kaum Zelot bertahan menentang Roma hingga perang tahun 66 - 73, dengan perusakan Yerusalem.
Sesudah pendaftaran penduduk itu, Yudea - sebagaimana propinsi Yudea dan Samaria itu disebut - menerima seorang wali negeri (procurator). Wali negeri (procurator) ini ditetapkan oleh kaisar, dan di bawah pengawasan umum wali negeri kekaisaran Romawi (legatus) di Siria. Sering ia diambil dari golongan tentara berkuda, bukan dari golongan senat, dan memiliki pasukan bantuan, bukan pasukan legiun, di bawah pemerintahnya.
Pada mulanya para procurator Roma (hingga tahun 41) mendapat hak istimewa untuk menunjuk imam besar Israel - suatu hak istimewa, yang sejak akhir pemerintahan dinasti Hasmonia dimiliki oleh Herodes dan penggantinya, Arkhelaus. Procurator memperdagangkan pelayanan suci itu kepada penawar yang paling tinggi. Karena itu namanya di bidang keagamaan rendah sekali. Sebab jabatan imam besar itu mengetuai Mahkamah Agama (Sanhedrin) atau Majelis Tua-tua, yang mengatur perkara-perkara intern bangsa Yahudi.
Sanhedrin dan pemerintah Romawi di Yudea keduanya mendapat bagian berperan dalam cerita Injil tentang pengadilan Yesus. Pemerintah Romawi menghukum-Nya atas dasar gugatan pokok mengaku sebagai raja Yahudi. Dan inilah tuduhan yang diterakan pada salib-Nya, suatu terjemahan ke dalam istilah-istilah politik dari tuntutannya, mengungkapkan atau mengandung makna: menjadi Mesias.
Ketika imam besar yang mengetuai pemeriksaan yang mendahului penampakan-Nya di depan Pilatus, bertanya dengan terus terang kepada-Nya, apakah Ia Mesias. Ia menjawab bahwa mulai sekarang Anak Manusia akan tampak duduk di sebelah kanan Yang Mahakuas dan datang di atas awan-awan di langit. Dengan kata-kata ini, Ia menghindari implikasi-implikasi politik dari jabatan Mesias seperti digambarkan dengan istilah-istilah warisan kerajaan Daud, dan menunjukkan bahwa pengutusan-Nya itu lebih dikaitkan dengan pengutusan Anak Manusia, yang dijelmakan di dunia ini dalam kerendahan dan penderitaan, tapi yang ditetapkan oleh Allah sebagai Tokoh, melalui siapa maksud-Nya yang baik akan mendapat pemenuhan yang menguntungkan.
Garis-garis pengharapan Mesianis ini dapat dilacak kembali hingga pada Taurat, para Nabi dan Kitab-kitab (Ketubim), hingga kepada nabi-nabi seperti Musa yang disebutkan dalam Ulangan 18:15, hingga kepada Raja yang akan datang dalam Kejadian 49:10; Bilangan 24:17, dan beberapa dari Mazmur kerajaan (terlebih-lebih Mazmur 2 dan 110), hingga kepada hamba Tuhan dalam Yesaya 42:1-53:12, dan hingga kepada yang seperti anak manusia dalam Daniel 7:13 dan ayat berikutnya, untuk tidak menyebut lebih banyak lagi.